Jumat, 25 Januari 2013

Hary Tanoe Lecehkan Surya Paloh & Nasdem



INILAH.COM, Jakarta - Klaim Hary Tanoe bahwa dialah yang membangun sistem dan membiayai Partai Nasdem, sehingga partai tersebut lolos verifikasi dan bisa ikut Pemilu 2014, boleh jadi mengandung kebenaran.
Tapi mengingat sejarah kelahiran Partai Nasdem, baru dalam kisaran belasan bulan sehingga masih banyak fakta segar yang melekat dalam ingatan, maka klaim itu patut diverifikasi. Ditambah rekam jejak Hary Tanoe dalam dunia politik masih belum jelas, maka klaim itu patut dipersoalkan.
Masih segar dalam ingatan bahwa Hary Tanoe baru bergabung dengan Partai Nasdem, setelah Surya Paloh menyediakan infrastruktur dasar di partai tersebut melalui pembentukan awal Ormas Nasdem. Jadi figur yang sudah lebih dulu hadir dan berperan penting di Nasdem adalah Surya Paloh, "the real founding father".
Peran serta jasa seorang pendiri, tak bisa dihitung dan dinilai dengan uang. Bahkan sekalipun menggunakan argometer, dimulai sejak gagasan Nasdem lahir, tetap sulit menghitungnya.
Demikianlah kira-kira kesulitan menghitung peran dan saham Surya Paloh di Nasdem. Ini pulalah yang membedakan Surya Paloh dengan kader bahkan pimpinan teras Ormas dan Partai Nasdem.
Untuk melahirkan bayi Nasdem - sepanjang catatan yang tersisa, Surya Paloh telah mengeluarkan keringat. Boleh jadi termasuk 'keringat darah'. Jika dokumentasi perpustakaan media dibuka kembali, akan bisa dilihat, yang namanya kritikan yang berbentuk sindiran, dan hujatan terhadap Surya Paloh, tak terhitung jumlahnya.
Kalau saja Surya Paloh sempat terpengaruh oleh kritikan-kritikan itu, boleh jadi Nasdem tidak berujud seperti sekarang. Kritik terhadap Surya Paloh atas mundurnya Sri Sultan Hamengku Buwono X dari Nasdem, termasuk yang paling mendasar. Sebab Surya sempat dinilai melakukan akal-akalan terhadap Raja Yogya itu.
Sekalipun cara Sri Sultan tidak sevulgar seperti yang dilakukan Hary Tanoe, ketika mengundurkan diri, tetapi tetap saja hal itu menciderai martabat Surya Paloh. Dan ketika hujan sindiran, kritik dan hujatan itu menerpa Surya Paloh, pendiri Metro TV itu dengan senyum khasnya meladeninya, tanpa harus mengklaim sesuatu. "Anjing menggonggong kafilah berlalu", Surya seolah membatin.
Oleh sebab itu klaim Hary Tanoe jika disejajarkan dengan sikap Surya Paloh, menjadi tidak berkelas. Klaim Hary Tanoe itu justru mengingatkan para penulis sejarah agar lebih hati-hati dalam menulis.
Kalau ada yang ingin menulis sejarah Nasdem, klaim Hary Tanoe harus diverifikasi dulu. Bila perlu sejarawan melakukan verifikasi faktual dengan KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan verifikasi awal dengan Kementerian Hukum dan HAM. Jangan sampai history atau sejarah adalah "his story", ceritera sepihak tentang dirinya.
Perseteruan Hary Tanoe dan Surya Paloh di Partai Nasdem, sebetulnya merupakan masalah internal. Sehingga soal ketidakpuasan Hary Tanoe yang berujung pada keputusannya mengundurkan dari dari DPP Partai Nasdem berikut keanggotaan, sebetulnya merupakan persoalan yang tidak perlu digubris oleh publik.
Tetapi persoalan konteksnya berubah, semenjak Hary Tanoe mengumbar perselisihannya dengan Surya Paloh kepada media. Apapun alasannya, cara yang dilakukan Hary Tanoe sudah melecehkan Surya Paloh. Pelecehan itu tidak patut dilakukan terhadap seorang tokoh masyarakat, apalagi sang tokoh, beberapa hari sebelumnya masih merupakan sahabat karibnya.
Ditambah lagi Surya Paloh tidak atau belum pernah melakukan pelecehan terbuka dan terlebih dahulu terhadap Hary Tanoe. Tanpa sadar Hary Tanoe sudah menzolimi Surya Paloh. Diamnya Surya Paloh tidak pantas dijadikan alasan untuk mengumbar perselisihan mereka berdua.
Jika Hary Tanoe tidak bermaksud melecehkan Surya Paloh, pertemuan pers untuk mengumumkan pengunduran dirinya dari Partai Nasdem, bisa digelar dengan format yang lebih bermartabat. Misalnya mengajak Surya Paloh duduk bersama menghadapi wartawan untuk menjelaskan mengapa mereka berdua harus pecah kongsi. Itu baru bisa disebut sikap ksatria seorang lelaki.
Cara Hary Tanoe terkesan semakin tidak beretika, karena ia memboyong sejumlah kader muda Partai Nasdem untuk mengumumkan pengunduran diri mereka yang dipicu oleh perbedaan cara pandang. Hary telah membuat kegaduhan sekalipun ketika berbicara selalu mengumbar senyum. Oleh sebab itu sebesar apapun ketokohan Hary Tanoe di dunia usaha dan media, sikap dan caranya perlu dikoreksi.
Koreksi terhadap Hary Tanoe, bukan untuk mencampuri perpecahan di Nasdem. Tetapi untuk mengingatkan Hary Tanoe bahwa Nasdem, setelah berhak mengikuti Pemilu 2014, partai itu sudah menjadi salah satu pilar demokrasi bangsa. Nasdem merupakan aset bangsa.
Pilar dan aset ini harus dijaga, tidak boleh ditebang dan dihancurkan dengan cara tak bertanggung jawab. Semenjak Nasdem menjadi badan hukum, semenjak itu setiap kekuatan wajar menghormati status hukumnya.
Sekalipun Nasdem berbentuk badan hukum, seperti sebuah badan usaha, tapi indentitasnya tidak sama dengan sebuah badan usaha seperti PT Bimantara Citra. Di Bimantara Citra, Hary bisa berbuat apa saja. Termasuk meniadakan peran Bimantara Citra sebagai pendiri stasiun televisi swasta pertama di Indoneia, RCTI.
Hary bisa menutup perusahaan swasta yang didirikan oleh para pengusaha nasional itu. Tapi tidak demikian untuk Nasdem. Hary boleh mengubur Bimantara Citra, lalu menciptakan kesan bahwa RCTI merupakan anak perusahaan MNC, perusahaan induk media massa yang berdiri pada 2003. Tindakan seperti itu di Bimantara dan RCTI, sah-sah saja dilakukan Hary Tanoe. Tapi lagi-lagi, tidak di Partai Nasdem.
Jika sekarang masyarakat sudah lupa terhadap Bambang Trihatmodjio, Peter Gontha, Rosano Barack dan M Tachril bahkan Peter Sondakh, sebagai pencetus dan pendiri RCTI, juga tidak masalah. Namun tidak boleh terjadi, Hary menggiring opini publik bahwa Nasdem eksis karena uang dan dedikasinya.
Karena RCTI ataupun Bimantara Citra, memang tidak punya peran konstitusional dalam ekistensi NKRI. Sementara Nasdem, sangat berbeda. Konsep memimpin di RCTI dan Bimantara bahkan MNC sekalipun, tidak bisa diterapkan di Partai Nasdem. Uang bukan segala-galanya. Tidak semua orang masuk Partai Nasdem karena mau menggandakan kekayaan.
Oleh sebab itu, khawatir hal serupa dilakukan Hary di Partai Nasdem, maka Hary wajib diingatkan. Mohon jangan dilanjutkan nafsu yang tidak sehat. Setelah mundur dari Partai Nasdem, Hary Tanoe perlu lebih prudent. Berpolitik tidak sama dengan berbisnis. Sukses di bisnis, tidak ada jaminan bisa sukses di politik. Apalagi kalau mau jadi cawapres atau capres.
Terlepas dari ketidak sadaran Hary melecehkan Surya Paloh, pencetus provider telepon Fren ini, merupakan aset bagi bangsa Indonesia. Aset itulah yang patut kita jaga, sekalipun kepada pemuda asal Surabaya ini, koreksi dengan tutur kata yang lugas terpaksa harus dilakukan! Headline

Tidak ada komentar:

Posting Komentar