Jumat, 25 Januari 2013

Menakar Manuver 'Kutu Loncat' Hary Tanoe

HeadlineNILAH.COM, Jakarta - Kwik Kian Gie, politisi PDI-P, pada tahun 2004, diperjuangkan oleh partainya untuk menjadi Ketua MPR-RI (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia).
Tapi justru Kwik sendiri yang tidak bersedia diperjuangkan. Secara santun Kwik menampik tawaran menduduki posisi politik yang berdurasi 5 tahun tersebut. Bagi PDI-P, Kwik merupakan kader partai yang sudah patut diberi apresiasi. Sebab setelah lebih dari 10 tahun berkiprah, PDI-P mencatat kontribusinya kepada partai sudah besar dan patut diapresiasi.
Pencalonan Kwik untuk posisi Ketua MPR-RI, juga sekaligus cara PDI-P menguji apakah bangsa Indonesia sudah bisa menerima seorang warga Indonesia keturunan Tionghoa dan non-muslim memimpin lembaga tinggi negara di Senayan itu.
Kwik bergabung dengan PDI pada awal 1990-an, saat Indonesia hanya mengizinkan tiga partai boleh ikut Pemilu yakni PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Golkar dan PDI-belum ada tambahan sebutan 'Perjuangan'.
Partai berlambang kepala banteng ini, saat itu dijuluki sebagai partai gurem dan dimusuhi penguasa. Rekam jejak Kwik menjadi politisi banteng, cukup khas. Ketika bergabung ia tidak masuk di posisi pengambil keputusan. Ia memilih menjadi Kepala Penelitian dan Pengembangan (Litbang), posisi yang sering diplesetkan "sulit berkembang".
Misi Kwik adalah membantu penyediaan data hasil penelitian agar dengan data itu pemimpin partai dapat mengambil kebijakan, menyusun rencana kerja yang benar atas dasar data yang valid.
Dan yang tidak bisa dilupakan, sebelum bergabung dengan PDI, Kwik sehari-hari dikenal sebagai pengusaha sukses. Ia memimpin beberapa perusahaan di antaranya ada yang memiliki kaitan bisnis dengan Salim Group, kelompok usaha yang dikenal sangat dekat dengan kekuasaan. Dekat dengan penguasa berarti musuhnya PDI. Begitu penafsiran politis ketika itu.
Sehingga secara kasat mata jelas terlihat motivasi Kwik Kian Gie masuk ke PDI, bukan untuk memperbesar bisnisnya atau mengejar kekuasaan apalagi ingin menggantikan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum. Kwik tahu dan sadar diri.
Penolakan Kwik dicalonkan Ketua MPR-RI, membuat partai terpaksa mengajukan Sutjipto, (almarhum) Sekjen PDI-P ketika itu. Hasilnya, Sutjipto kalah dari Hidayat Nur Wahid, kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Entah secara kebetulan atau sudah diniati, semenjak itu, Kwik berangsur mundur dari berbagai kegiatan PDI-P. Yang cukup menarik, Kwik tidak mengembangkan bisnis tetapi masuk ke kampus dan mencurahkan waktu dan tenaganya untuk dunia pendidikan. Hingga sekarang.
Kisah Kwik Kian Gie ini menjadi rujukan yang relevan untuk pembahasan perpolitikan saat ini. Dimana politisi yang mengejar kedudukan semakin marak tanpa peduli apakah kepentingan orang banyak terakomodasi atau tidak.
Semakin relevan lagi, bila rekam jejak dan kiprah Kwik diperbandingkan dengan langkah Hary Tanoe, pengusaha yang baru satu tahun terjun ke dunia politik. Kebetulan Kwik Kian Gie sama dengan Hary Tanoe yang berlatar belakang pengusaha, sama-sama WNI keturunan Tionghoa.
Rujukan ini setidaknya memberi tambahan masukan bagi mereka yang masih berusia remaja, sewaktu Kwik berkiprah di dunia politik. Setidaknya, pengalaman politik Kwik bisa dijadikan sebagai pembanding, bahwa hidup bernegara atau berpolitik, bukan cuma soal kekuasaan dan uang,
Kwik paham tentang kepatutan dan nilai-nilai yang diadopsi oleh masyarakat Indonesia. Sangat kontras dengan Hary Tanoe yang reputasinya di dunia politik belum teruji, namun sudah ingin menjadi pemimpin sebuah partai politik.
Sudah begitu yang hendak dia geser, seorang politisi senior yang Hary Tanoe sendiri tahu, juga sedang berjuang mendapatkan legitimasi. Jabatan Ketua MPR, jelas merupakan sebuah posisi bergengsi, dari sudut apapun. Tetapi jabatan itu tidak menyilaukan mata Kwik Kian Gie.
Paradoks dengan visi Hary Tanoe. Jabatan Ketua Umum Partai Nasdem, merupakan "segala-galanya". Begitu kuatnya obsesi Hary Tanoe untuk menjadi figur sentral di Nasdem dengan jualan membawa visi generasi muda. Sehingga ia tidak segan-segan meremehkan generasi tua seperti Surya Paloh.
Kwik tidak pernah berhitung berapa besar kerugian materil dan pikiran yang dia korbankan untuk partai. Sementara Hary Tanoe, mengklaim sebagai pihak yang sudah mengeluarkan dana yang cukup banyak, sehingga wajar untuk memperoleh imbalan dari partai atau Surya Paloh.
Kwik juga merupakan orang yang berduit ketika masuk ke partai miskin. Tapi visinya tidak sama dengan Hary Tanoe yang mau menjadikan statusnya sebagai orang kaya, untuk lebih berkuasa di partai. Sejumlah kader PDI menenggarai, Kwik pada akhirnya memang berbeda visi dengan sejumlah tokoh partai termasuk dengan Megawati. Dan perbedaan itu cukup prinsipil.
Tapi perbedaan sebesar apapun yang ada pada Kwik dengan partai, tidak membuatnya tergoda untuk mendeklarasikan pengunduran diri secara demonstratif. Boleh jadi Kwik menganut prinsip Presiden AS yang terbunuh, John F.Kennedy. "Jangan tanyakan apa yang (partai) sudah buat untuk kamu, tapi apa yang sudah kamu buat (untuk partai)".
Kwik tidak mengumbar perbedaannya dengan partai apalagi dengan Megawati Soekarnoputri - yang oleh sejumlah pengikutnya diakui sebagai rohnya partai. Untuk dan sampai saat ini, Surya Paloh juga dianggap masih merupakan "roh"nya Nasdem. Tapi roh itulah yang mau diambil oleh Hary Tanoe.
Kwik juga sebetulnya memiliki aura kesombongan. Tapi kesombongan atau arogansi yang ia pertontonkan, masih tetap dalam koridor kepatutan. Boleh jadi Kwik sadar bahwa sedikit saja kekeliruannya di dalam cara berprilaku, dapat mengundang perasaan sentimen rasialis terhadap sosok seperti dia. Hary Tanoe nampaknya tidak sampai berpikir seperti itu.
Dengan uang yang banyak itu pula ia beranggapan, mendirikan ormas, partai sebagai saingan Nasdem atau loncat ke partai manapun yang dia sukai, merupakan sesuatu yang sehat. Mamamia....!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar