Drs. AA G Oka Wisnumurti, MSi
D. Peta Politik Lokal
A. Pendahuluan
Peta merujuk pada gambaran umum
tentang keadaan tempat, wilayah dan atau medan tertentu yang dapat dijadikan
dasar dalam menentukan arah yang hendak dituju. Kalau itu menyangkut peta
politik akan meliputi antara lain gambaran wilayah, medan, situasi dan kondisi
politik dalam suatu mendan tertentu. Nasional dan lokal merujuk pada wilayah
dimana politik itu beroperasi. Berbeda dengan peta dalam artian leksikal, peta
politik berlangsung sangat dinamis, mengalami pasang surut sesuai dengan
situasi dan kondisi politik yang ada dan terjadi pada wilayah medan politik.
Politik sebagai sebuah terminologi
mengadung arti sangat luas, batasan-batasan politik sebagaimana dirumuskan oleh
para teoritisi politik lazim diartikan sebagai upaya mengatur negara dan
melaksanakan pemerintahan melalui proses perebutan kekuasaan yang konstitusional
dengan menggunakan kekuasaan yang diraih dan kekuatan yang dimiliki bagi
kesejahteraan rakyat. Agar pola kerja politik dapat terarah, dibuatkan
karangka sistemik sebagai jalinan sub-sub sistem yang meliputi infra
(pemerintahan) dan supra struktur (partai politik, kelompok kepentingan,
kelompok penekan dan kelompok anomi) politik. Sub-sub sistem politik bergerak
secara dinamis bagai pendulum berayunan kekiri dan kekanan atau sebaliknya. Ada
kalanya bandul itu ada pada ekstrim kiri, ada kalanya ada pada ekstrim kanan,
ada kalanya berhenti di tengah-tengah. Pergerakan bandul politik ini
dikendalikan dan diformat dalam suatu kerangka sistem yang diarahkan pada
sistem politik yang demokratis.
B. Merajut Sistem Politik Demokratis
Dinamika politik nasional Indonesia
mulai terasa ketika gerakan demokratisasi digulirkan pada tahun 1997 oleh
kalangan mahasiswa, kemudian melahirkan suksesi kepemimpinan pada tahun
1998 yang dikatakan sebagai tonggak awal gerakan demokrasi di Indonesia
(Philpott, 2003: 1). Tuntutan reformasi menghendaki adanya perubahan yang
mendasar terhadap tatanan kehidupan sosial-politik yang demokratis dengan
menempatkan kedaulatan ada ditangan rakyat. Upaya ini diantaranya dilakukan
melalui perubahan sitem demokrasi perwakilan dengan model pemilihan tidak
langsung menjadi demokrasi langsung.
Dalam sistem demokrasi tidak
langsung pimpinan ditingkat nasional (Presiden dan Wakil Presiden) maupun
di tingkat lokal (Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,
Walikota dan Wakil Walikota) dipilih oleh legislatif atas nama rakyat.
Mekanisme pemilihan seperti itu telah menimbulkan kecaman dan kekecewaan
rakyat karena lazim menimbulkan praktik-praktik yang cendrung mereduksi
kedaulatan rakyat, adanya praktik money politics. Penerapan demokrasi
perwakilan dengan model pilihan tidak langsung yang selama ini dilaksanakan
telah melahirkan rezim pemerintahan sentralistik-otoriterian yang
mengebiri hak dan kedaulatan rakyat. Melalui reformasi rakyat menghendaki
dikembalikannya kedaulatan rakyat yang telah lama terpasung. Sistem demokrasi
langsung diharapkan mampu mengembalikan kedaulatan rakyat. Rakyat
diberikan keleluasaan untuk menentukan pemimpin yang dikehendaki melalui
pemilihan secara langsung.
Melalui mekanisme pemilihan langsung
diharapkan dapat mengembalikan kedaulatan rakyat, memperkuat hak dan kewajiban
politik rakyat yang pada akhirnya dapat melahirkan pemimpin yang memiliki
kapabilitas, konstituensi, dan legitimasi serta integritas (Kleden,
2004). Begitupun diharapkan dapat membuka sumbatan-sumbatan
demokrasi yang sudah macet bertahun-tahun, sehingga menjadi
momentum melakukan terobosan menuju tradisi baru demokrasi lokal
(Pradhanawati, 2005: 10). Cita-cita untuk membangun Indonesia baru, yakni
Indonesia yang lebih demokratis, dengan mengembalikan kedaulatan ke tangan
rakyat (Abdullah, 2005: 51) dapat diwujudkan.
Keinginan untuk mewujudkan Indonesia
yang lebih demokratis, dilakukan melalui constitutional reform
yakni amandemen terhadap Undang Undang Dasar 1945. Ada beberapa
hal mendasar yang dihasilkan dalam amandemen tersebut, yang diyakini menjadi
dasar penegakan demokrasi di Indonesia. Peran dan kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara
akan tetapi sebagai lembaga negara yang kedudukannya sama dengan
lembaga-lembaga negara lainnya. Begitupun keanggotaan MPR terdiri dari Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih
secara langsung melalui pemilihan umum (pemilu) legislatif oleh rakyat.
Begitupun presiden dan wakil presiden yang awalnya dipilih MPR, melalui
amandemen UUD 1945, sejak pemilu tahun 2004 dipilih secara langsung melalui
pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
Perubahan ini memberikan pemaknaan
baru terhadap struktur dan kultur politik nasional dan lokal yang dapat
memberikan arah perubahan peta sosial dan politik. Secara struktural, terjadi
perubahan terhadap peran, kedudukan dan fungsi lembaga-lembaga negara,
sedangakan secara kultural, dikembangkannya tradisi politik baru yakni
pemilihan legislatif dan eksekutuif secara langsung oleh rakyat.
Proses demokratisasi yang hendak
dikembangkan tidak berhenti sampai disitu. Keberhasilan Pemilu 2004 melalui
pemilihan Presiden secara langsung, menjadi inspirasi untuk mengembangkan
proses demokrasi ke aras lokal. Terbitnya Undang Undang Nomor 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang Undang nomor 22 tahun
1999, merupakan kelanjutan dari proses reformasi dengan menempatkan
desentralisasi pemerintahan dan demokratisasi dalam pengaturan politik lokal
dengan dipilihnya kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh rakyat
di daerah (pilkada) secara langsung.
Perubahan pengaturan politik
lokal melalui pilkada langsung dapat mempengaruhi sistem nilai dan budaya
politik lokal yang selama ini menjadi ideologi masyarakat di daerah. Demokrasi
langsung sebagai eksperimen modernitas pada tingkat global, merupakan
tradisi besar yang akan saling silang-menyilang, berinteraksi
dengan nilai-nilai tradisi pada masyarakat lokal sebagai tradisi kecil
(Gidens,2003: 13). Adanya silang budaya antara tradisi besar
(globalisasi) dengan tradisi kecil (lokalisasi), menurut Imawan (2004: 6)
membawa arus yang paradoksial dalam struktur sosial Indonesia. Satu arus
menarik bangsa Indonesia ke “norma dunia”, sementara arus yang lain
justru melahirkan penguatan kelompok ethnis, bahkan melakukan
nasionalisme ethnis. Sedangkan menurut Nashir (1999: 176) ekspansi
budaya global justru menyebabkan meningkatnya kesadaran terhadap
budaya lokal dan regional.
Proses demokrasi langsung melalui
Pilkada merupakan penetrasi tradisi besar yang hendak dilaksanakan dalam
komunitas lokal. Dalam implementasinya, penerapan sistem pemilihan kepala
daerah langsung telah memunculkan pandangan yang dualistis antara mereka
yang pesimistis dengan yang optimistis (Oka Mahendra, 2005. Ada dua alasan
mendasar yang dapat dikemukakan dalam menyikapi pergeseran format
politik lokal, yakni alasan akademis dan alasan praksis.
Menurut Anderson secara akademis perkembangan
ilmu politik mutakhir termasuk studi politik di Indonesia menunjukkan
perdebatan tentang konsep demokrasi yang berlangsung secara
dikotomis antara demokrasi Schumpeterian dengan pengkritiknya (Dwipayana,
2004: 1). Para penganjur demokrasi Schumpeterian merumuskan demokrasi sebagai
sebuah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan-keputusan
dimana individu-individu mendapatkan kekuasaan untuk memutuskan melalui
pertarungan kompetitif memperoleh suara rakyat. Prinsip-prinsi demokrasi ini tidak
hanya diyakini secara kuat dalam dunia akademik, melainkan sudah menjadi
rujukan utama dalam praktik politik dan pemerintahan di Indonesia
(Dwipayana,2004: 2). Pendekatan demokrasi Schumpeterian yang hanya menekankan
pada dimensi electoral dan lembaga perwakilan menimbulkan sanggahan dari
berbagai kalangan. Menurut Teri Karl, disamping dimensi electoral, perlu
memperhitungkan secara serius dimensi-dimensi non-electoral
seperti kebebasan sipil. Bagi kaum liberal, demokrasi memberikan jaminan
kebebasan yang tak tertandingi oleh sistem politik manapun (Dwipayana,
2004: 3).
Perkembangan sosial modern
kolaborasi antara modernitas sebagai ciri masyarakat modern dengan
tradisi yang membingkai masyarakat akan bermuara salah satunya dalam
penyelenggaraan pilkada langsung ini adalah suatu persoalan yang perlu
mendapatkan perhatian dalam dinamika politik lokal. Menurut Jimung (2004:
25) dinamika politik lokal merupakan sesuatu yang penting,
didalamnya terdapat penghargaan dan perspektif yang berbeda antara daerah
yang satu dengan yang lainnya. Setiap daerah tidaklah mungkin memiliki
pengaruh politik yang sama oleh karena kekuasaan dan sumber-sumbernya menyebar
ke berbagai simpul begitupun perjuangan berbagai kelompok masyarakat dalam
memperebutkannya.
Arena pilkada langsung sebagai
wahana interaksi dan relasi kekuasaan yang semakin rumit. Dalam teori kekuasaan
menurut Foucault, kekuasaan harus dipahami sebagai sesuatu yang
bermakna banyak dan beragam hubungan dalam masyarakat, tidak bisa dilokalisasi
pada tempat tertentu menjadi milik seseorang, sehingga memerlukan strategi
kompleks untuk mendapatkannya (Haryatmoko, 2002: 12). Peta politik
baik yang bersifat nasional maupun lokal dalam konteks ini akan dapat dibedah
dari proses politik pemilu.
C. Peta Politik Nasional
Gambaran kontemporer terhadap
peta politik nasoional pintu masuknya dapat dinalisis melalui hasil
pemilu legislatif maupun presiden dan wakil presiden. Pendekatan historis
memberikan gambaran bahwa peta politik nasional mengalami dinamika pasang surut
berfluktuatif. Pada masa orde baru, Golkar sebagai kekuatan politik dominan
mengendalikan hampir keseluruhan aspek politik. Reformasi telah menjungkalkan
domiminasi politik Golkar, dengan munculnya kekuatan politik “rakyat” yang
dipresentasikan oleh PDI-P (1999-2004). Ketika itu PDI-P keluar sebagai
pemenang pemilu disusul oleh Golkar. Walaupun keluar sebagai pemenang pemilu
ternyata calon presiden dari PDI-P tidak memenangkan proses pemilihan ketika
itu. Justru yang menjadi presiden adalah Abdulrahman Wahid yang nota benana
berbasis pada PKB, disokong kekuatan politik poros tengah dengan Amin
Rais sebagai aktor intelektualnya, berhasil “menjegal” gerakan PDI-P dan
harus puas pada posisi wakil presiden. Jatuhnya Gus dur mengangkat Megawati
menjadi Presiden. Pemilu 2004, kekuatan Golkar bangkit kembali
dengan memenangkan pemilu legislatif menggeser PDI-P ke posisi runer up. Pada saat
itu pula telah lahir satu partai politik baru yakni Partai Demokrat yang
dibidani oleh SBY.
Sebagai partai “baru” Partai
Demokrat ternyata hasilnya mengejutkan, Demokrat yang dalam pemilu 2004
memperoleh hanya 7%, mengalami lompatan yang luarbiasa, dengan merahi 20,85%
suara. Pesona kekuasaan yang dimainkan SBY mampu menjadi magnetude
menarik simpati rakyat. Ini merupakan modal yang luarbiasa bagi
pencitraan partai Demokrat sehingga tampil sebagai pemenang dengan komposisi
sebagai berikut; Dari 38 partai politik nasional, hanya 9 partai yang memenuhi
ambang batas perolehan suara 2,5 persen.Sementara29 partai lainnya harus
tersingkir. Berikut perolehan 9 partai politik tersebut secara lengkap.
Nama Partai
|
Perolehan Suara
|
Persentase Suara
|
Jumlah Kursi DPR
|
Partai Demokrat
|
21.703.137
|
20,85%
|
148
|
Partai Golkar
|
15.037.757
|
14,45%
|
108
|
PDI-Perjuangan
|
14.600.091
|
14,03%
|
93
|
PKS
|
8.206.955
|
7,88%
|
59
|
PAN
|
6.254.580
|
6,01%
|
42
|
PPP
|
5.533.214
|
5,32%
|
39
|
PKB
|
5.146.122
|
4,94%
|
26
|
Gerindra
|
4.646.406
|
4,46%
|
30
|
Hanura
|
3.922.870
|
3,77%
|
15
|
Sedangkan untuk pilpres, kalau
dilihat dari hasil rekapitulasi perolehan suara sah yang masuk adalah sebanyak
121.504.481 suara. Pasangan SBY-Boediono memperoleh kemenangan di lebih dari 20
% jumlah seluruh provinsi di Indonesia. Data perolehan hasil rekapitulasi
penghitungan suara masing-masing Calon adalah 1. Pasangan Capres/Cawapres
Megawati-Prabowo 32.548.105 suara sah secara nasional atau (26,79%) 2.
Pasangan Capres/Cawapres SBY-Budiono : 73.874.562 suara sah secara
nasional atau (60,80%) 3. Pasangan Capres/Cawapres JK-Wiranto :
15.081.814 suara atau (12,41%) suara sah secara nasional. Dalam perspektif ideologis,
gambaran partai politik dan kemenangan Presiden dan Wakil Presiden masih di
pegang oleh kelompok nasionalis-religius. Partai yang berbasis aliran masih
tetap laku walaupun dukungannya bersifat konstan. Namun di jajaran
eksekutif kekuatan ini tampaknya mulai merasuk tidak saja di tataran mentri,
dan besar kemungkinan gerbong di tingkat dirjen ke bawah akan terbawa.
Kabinet Indonesia bersatu jilid II
telah diumukan dan tanggal 22 Oktober 2009 dilantik. Komposisi kabinet tersebut
menjadi gambaran arah koalisis partai politik dalam menjalankan roda
pemerintahan. Tampak Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu mendudukkan
mentrinya relatif banyak (6 mentri) ditambah mentri dari kalangan profesional
(secara psikologis akan merapat dan mendekat ke Demokrat). Mitra koalisis pada
saat pilpres mendapatkan “jatah” mentri yang proporsional. PKS dengan 4
mentri, PAN 2 Mentri, PKB 2 mentri. Golkar yang awalnya menjadi rival politik
pada saat pilpres, arahnya dari awal sudah bisa ditebak. Gambaran ini sudah
terbaca pada saat munas yang menggolkan Aburisal Brkrie sebagai ketum
menggantikan Yusuf Kalla. Dan terbukti Golkar mendapatkan 3 jatah mentri.
Sementara PDI-P yang awalnya
melakukan hubungan politik ketika menggolkan posisi-posisi penting di
legislatif (dengan terpilihnya Taufik Kiemas menjadi ketua MPR didukung oleh
salah satunya Demokrat). Pleno DPP PDI_P telah memutuskan tidak beroposisi
terhadap pemerintah, tetapi akan memposisikan diri sebagai partai yang kritis,
konstruktif dan strategis sebagai penyeimbang pemerintrah (Bali Post, 22
Oktober, hal. 1). Sedangkan Hanura dan Gerindra secara akan memilih oposisi.
Dengan koalisis gemuk yang dibangun
di pemerintahan, ada harapan akan mebentuk pemerin tahan yang kuat dengan
dukungan politik diparlemen moyoritas.Duduknya beberapa pimpinan parpol di
jajaran kabinet menjadi pertanda awal bagaimana anggota legislatif
khususnya dari mitra koalisi akan mengambil sikap kritis terhadap pemerintah.
Asumsinya kerena mereka partai pendukung pemerintah maka akan bersikap
konserfatif dan mungkin juga depensif. Karena masih asumsi tentu perlu diuji
kebenarannya, dan sang waktu akan menjawabnya.
Ditingkat operasional,
kekuatan-kekuatan internal masing-masing parpol akan membawa gerbong
masing-masing untuk memasukkan kepentingan politiknya kedalam program kerja
kabinet. Bisa jadi, gorbong berikutnya akan bergerak ke tataran birokrasi
walaupun secara normatif birokrasi itu mesti netral. Disinilah menjadi titik
krusial dari koalisi besar itu. Bias sinarnya akan menyeruak sampai ke tingkat
lokal.
D. Peta Politik Lokal
Perubahan peta politik nasional baik
langsung maupun tudak langsung, berdampak pada perubahan peta politik lokal. Di
Bali sendiri dominasi PDI-P masih sangat kuat. Hal ini dapat dimaklumi karena
Bali memiliki basis dukung ideologis yang kuat terhadap partai nasionalis.
Kuatnya basis dukungan ini bukan berarti tidak ada perubahan. Hasil pemilu 2009
menunjukkan perolehan suara dan kursi PDI-P di Kabupaten /Kota dan Provinsi
Balli mengalami penurunan. Sementara Golkar relatif stabil, sedangkan Demokrat
mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari perolehan
kursi dari masing-masing partai politik pada pemilu 2009 di tingkat provinsi
Bali dapat dilihat sebagaimana tabel berikut yang disusun atas dasar urutan
perolehan kursi:
Komposisi
Perolehan Kursi Partai Politik di Tingkat Provinsi Bali dalam Pemilu Th.
2004-dan Th.2009
No.
|
Nama
Parpol
|
2004
|
2009
|
Ket.
|
1.
|
PDI-P
|
30
|
24
|
turu
6 kursi
|
2.
|
Golkar
|
14
|
12
|
Turun
2 kursi
|
3.
|
Demokrat
|
3
|
10
|
Naik
7 kursi
|
4.
|
Gerindra
|
-
|
2
|
Pendatang
baru
|
5.
|
PNBK
|
1
|
2
|
naik
1 kursi
|
6.
|
Hanura
|
-
|
1
|
Pendtng
baru
|
7.
|
PKPB
|
3
|
1
|
Turun
2 kursi
|
8.
|
Pakarpangan
|
-
|
1
|
Pedtng
baru
|
9
|
PKPI
|
-
|
1
|
|
10
|
PNI
Marhenisme
|
2
|
1
|
Turun
1 kursi
|
11
|
PPP
|
1
|
-
|
|
12
|
PPIB
|
1
|
-
|
|
|
Jumlah
|
55
|
55
|
|
Data tersebut menggambarkan adanya
dinamika dan fluktuasi peta politik lokal yang sangat dinamis.Nasmun pergeseran
dan pergerakan itu masih dalam satu kerangka ideologis nasionalis sebagai
pilihan partai politiknya.
Kalau dilihat dari penguasaan di
eksekutif, Dominasi PDI-P masih memenangkan perebutan kekuasaan di beberapa
daerah seperti di Tk. Provinsi, Kota Denpasar, Tabanan, Jemberana (walau di
tengah jalan dikeluarkan oleh PDI-P), Bangli, Buleleng, Kelungkung. Sedangkan
Golkar menguasai Karangasem (koalisis), Gianyar (Koalisi).
No.
|
Provinsi/Kabupaten Kota
|
Kepala
Daerah diusung oleh Parpol
|
Keterangan
|
1.
|
Bali
|
PDI-P
|
|
2.
|
Denpasar
|
PDI-P
|
|
3.
|
Badung
|
Golkar + Koalisi
|
|
4.
|
Tabanan
|
PDI-P
|
|
5.
|
Jemberana
|
PDI-P
|
Sudah Keluar
|
6
|
Buleleng
|
PDI-P
|
|
7.
|
Karangasem
|
Golkar + Koalisi
|
|
8.
|
Kelungkung
|
PDI-P
|
|
9.
|
Bangli
|
PDI-P
|
|
10.
|
Gianyar
|
Golkar + Koalisi
|
|
Pata politik ini menggambarkan ada
perbedaan yang signifikan antara kemenangan dalam pemilu legislatif dengan
memenangkan pilkada. Secara umum peta kekuatan politik baik di provinsi maupun
kabupaten/kota masih didominasi oleh PDI-P walau secara kalkulatif tidak
sebagai kekuatan mayoritas (diatas 50%) kecuali Kabupaten Tabanan. Sesungguhnya
perolehan suara antara pemili legislatif dengan calon kepala daerah yang
diusung oleh PDI-P relatif signifikan. Oleh karena tidak menguasai di atas 50%
maka ketika lawan politiknya melakukan koalisi dengan pola had to had besar
kemungkinan dikalahkan, contoh kasus Badung dan Gianyar. Sementara di
Karangasem justru berlaku sebalinya, dengan banyaknya calon justru suara PDI-P
yang terpecah.
Berdasrkan kalkulasi politik
tersebut dapat dikatakan bahwa peta politik baik nasional maupun lokal akan
bergerak sangat dinamis. Hal ini disebabkan oleh sistem politik demokratis
telah memberikan ruang gerak kebebasan untuk mendirikan partai politik. Rakyat
sudah mulai merasakan dan menikmati kebebasan politik. Kesadaran akan perbedaan
pilihan partai sudah mulai tumbuh. Ikatan ideologi partai mengendor, sehingga
seseorang bisa dengan leluasa loncat sana-loncat sini. Harapan kedepan
sejatinya dengan sistem politik yang demkratis, setiap kekuatan politik yang
ada bersaing dan berlomba-lomba untuk berbuat yang terbaik untuk rakyat,
membangun kesejateraan yang adil dan merata sehingga makna politik dan
demokrasi substantif yakni kesetaraan, keadilan, kebebasan dan kesejahteraan
dapat terwujud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar