Kamis, 24 Januari 2013

PETA POLITIK NASIONAL DAN LOKAL

Drs. AA G Oka Wisnumurti, MSi




A. Pendahuluan
Peta merujuk pada gambaran umum tentang keadaan tempat, wilayah dan atau medan tertentu yang dapat dijadikan dasar dalam menentukan  arah yang hendak dituju. Kalau itu menyangkut peta politik akan meliputi antara lain gambaran wilayah, medan, situasi dan kondisi politik dalam suatu mendan tertentu. Nasional dan lokal merujuk pada wilayah dimana politik itu beroperasi. Berbeda dengan peta dalam artian leksikal, peta politik berlangsung sangat dinamis, mengalami pasang surut sesuai dengan situasi dan kondisi politik yang ada dan terjadi pada wilayah medan politik.
Politik sebagai sebuah terminologi mengadung arti sangat luas, batasan-batasan politik sebagaimana dirumuskan oleh para teoritisi politik lazim diartikan sebagai upaya mengatur negara dan melaksanakan pemerintahan melalui proses perebutan kekuasaan yang konstitusional dengan menggunakan kekuasaan yang diraih dan kekuatan yang dimiliki bagi kesejahteraan rakyat.  Agar pola kerja politik dapat terarah, dibuatkan karangka sistemik sebagai jalinan sub-sub sistem yang meliputi infra (pemerintahan) dan supra struktur (partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan dan kelompok anomi) politik. Sub-sub sistem politik bergerak secara dinamis bagai pendulum berayunan kekiri dan kekanan atau sebaliknya. Ada kalanya bandul itu ada pada ekstrim kiri, ada kalanya ada pada ekstrim kanan, ada kalanya berhenti di tengah-tengah. Pergerakan bandul politik ini dikendalikan dan diformat dalam suatu kerangka sistem yang  diarahkan pada sistem politik yang demokratis.


B. Merajut Sistem Politik Demokratis
Dinamika politik nasional Indonesia mulai terasa  ketika gerakan demokratisasi digulirkan pada tahun 1997 oleh kalangan mahasiswa, kemudian melahirkan  suksesi kepemimpinan pada tahun 1998 yang dikatakan sebagai tonggak awal gerakan demokrasi di Indonesia (Philpott, 2003: 1). Tuntutan reformasi menghendaki adanya perubahan yang mendasar terhadap tatanan kehidupan sosial-politik  yang demokratis dengan menempatkan kedaulatan ada ditangan rakyat. Upaya ini diantaranya dilakukan melalui perubahan sitem demokrasi perwakilan dengan model pemilihan tidak langsung menjadi demokrasi langsung.
Dalam sistem demokrasi tidak langsung  pimpinan ditingkat nasional (Presiden dan Wakil Presiden) maupun di tingkat lokal (Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota)  dipilih oleh legislatif atas nama rakyat. Mekanisme pemilihan  seperti itu telah menimbulkan kecaman dan kekecewaan rakyat karena lazim menimbulkan praktik-praktik yang cendrung mereduksi kedaulatan rakyat, adanya praktik money politics. Penerapan demokrasi perwakilan dengan model pilihan tidak langsung yang selama ini dilaksanakan telah melahirkan rezim  pemerintahan sentralistik-otoriterian yang mengebiri hak dan kedaulatan rakyat. Melalui reformasi rakyat menghendaki dikembalikannya kedaulatan rakyat yang telah lama terpasung. Sistem demokrasi langsung  diharapkan mampu mengembalikan kedaulatan rakyat. Rakyat diberikan keleluasaan untuk menentukan pemimpin yang dikehendaki melalui pemilihan secara langsung.
Melalui mekanisme pemilihan langsung diharapkan dapat mengembalikan kedaulatan rakyat, memperkuat hak dan kewajiban politik rakyat yang pada akhirnya dapat  melahirkan pemimpin yang memiliki kapabilitas, konstituensi, dan legitimasi   serta integritas (Kleden, 2004). Begitupun diharapkan dapat membuka  sumbatan-sumbatan demokrasi  yang sudah macet bertahun-tahun, sehingga menjadi momentum  melakukan terobosan menuju tradisi baru demokrasi lokal (Pradhanawati, 2005: 10). Cita-cita  untuk membangun Indonesia baru, yakni Indonesia yang lebih demokratis, dengan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat (Abdullah, 2005: 51) dapat diwujudkan.
Keinginan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih demokratis,  dilakukan melalui constitutional reform yakni amandemen terhadap Undang Undang Dasar 1945.    Ada beberapa hal mendasar yang dihasilkan dalam amandemen tersebut, yang diyakini menjadi dasar penegakan demokrasi di Indonesia. Peran dan kedudukan  Majelis Permusyawaratan Rakyat  (MPR) bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara akan tetapi sebagai lembaga negara yang kedudukannya sama dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Begitupun keanggotaan MPR terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)  dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih secara langsung melalui pemilihan umum (pemilu)  legislatif oleh rakyat. Begitupun presiden dan wakil presiden yang awalnya dipilih MPR, melalui amandemen UUD 1945, sejak pemilu tahun 2004 dipilih secara langsung melalui pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
Perubahan ini memberikan pemaknaan baru terhadap struktur dan kultur politik  nasional dan lokal yang dapat memberikan arah perubahan peta sosial dan politik. Secara struktural, terjadi perubahan terhadap peran, kedudukan dan fungsi lembaga-lembaga negara, sedangakan secara kultural, dikembangkannya tradisi politik baru yakni pemilihan legislatif dan eksekutuif secara langsung oleh rakyat.
Proses demokratisasi yang hendak dikembangkan tidak berhenti sampai disitu. Keberhasilan Pemilu 2004 melalui pemilihan Presiden secara langsung, menjadi inspirasi untuk mengembangkan proses demokrasi ke aras lokal. Terbitnya Undang Undang  Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang Undang nomor 22 tahun 1999, merupakan kelanjutan dari proses reformasi dengan menempatkan desentralisasi pemerintahan dan demokratisasi dalam pengaturan politik lokal dengan dipilihnya kepala daerah dan wakil kepala daerah   oleh rakyat di daerah (pilkada) secara langsung.
Perubahan pengaturan politik  lokal melalui pilkada langsung dapat mempengaruhi  sistem nilai dan budaya politik lokal yang selama ini menjadi ideologi masyarakat di daerah. Demokrasi langsung  sebagai eksperimen modernitas pada tingkat global, merupakan tradisi besar  yang akan saling silang-menyilang, berinteraksi dengan  nilai-nilai tradisi pada masyarakat lokal sebagai tradisi kecil (Gidens,2003: 13).  Adanya silang budaya antara tradisi besar (globalisasi) dengan tradisi kecil (lokalisasi), menurut Imawan (2004: 6) membawa arus yang paradoksial dalam struktur sosial Indonesia. Satu arus menarik bangsa Indonesia ke “norma dunia”, sementara arus  yang lain justru  melahirkan penguatan kelompok ethnis, bahkan melakukan nasionalisme ethnis. Sedangkan   menurut Nashir (1999: 176) ekspansi budaya global justru menyebabkan  meningkatnya  kesadaran terhadap budaya lokal dan regional.
Proses demokrasi langsung melalui Pilkada  merupakan penetrasi tradisi besar yang hendak dilaksanakan dalam komunitas lokal. Dalam implementasinya, penerapan sistem pemilihan kepala daerah langsung  telah memunculkan pandangan yang dualistis antara mereka yang pesimistis dengan yang optimistis (Oka Mahendra, 2005. Ada dua alasan mendasar  yang dapat dikemukakan  dalam menyikapi pergeseran format politik  lokal, yakni alasan akademis dan alasan praksis.
Menurut Anderson secara akademis perkembangan ilmu politik mutakhir termasuk studi politik di Indonesia  menunjukkan perdebatan tentang  konsep demokrasi yang berlangsung  secara dikotomis antara demokrasi Schumpeterian dengan  pengkritiknya (Dwipayana, 2004: 1). Para penganjur demokrasi Schumpeterian merumuskan demokrasi sebagai sebuah prosedur kelembagaan  untuk mencapai keputusan-keputusan  dimana individu-individu mendapatkan kekuasaan untuk memutuskan  melalui pertarungan kompetitif memperoleh suara rakyat. Prinsip-prinsi demokrasi ini tidak hanya  diyakini secara kuat dalam dunia akademik, melainkan sudah menjadi rujukan utama dalam praktik politik  dan pemerintahan di Indonesia (Dwipayana,2004: 2). Pendekatan demokrasi Schumpeterian yang hanya menekankan pada dimensi electoral dan lembaga perwakilan menimbulkan sanggahan dari berbagai kalangan. Menurut Teri Karl, disamping dimensi electoral, perlu memperhitungkan secara serius  dimensi-dimensi non-electoral seperti kebebasan sipil. Bagi kaum liberal, demokrasi memberikan jaminan kebebasan yang tak tertandingi  oleh sistem politik manapun (Dwipayana, 2004: 3).
Perkembangan sosial modern  kolaborasi antara modernitas sebagai ciri masyarakat modern dengan  tradisi yang membingkai masyarakat akan bermuara salah satunya dalam penyelenggaraan pilkada langsung ini adalah suatu persoalan yang perlu mendapatkan perhatian dalam dinamika politik lokal.  Menurut Jimung (2004: 25)  dinamika politik lokal  merupakan sesuatu yang penting, didalamnya terdapat  penghargaan dan perspektif yang berbeda antara daerah yang satu dengan yang lainnya.  Setiap daerah tidaklah mungkin memiliki pengaruh politik yang sama oleh karena kekuasaan dan sumber-sumbernya menyebar ke berbagai simpul begitupun perjuangan berbagai kelompok masyarakat dalam memperebutkannya.
Arena pilkada langsung sebagai wahana interaksi dan relasi kekuasaan yang semakin rumit. Dalam teori kekuasaan menurut Foucault,  kekuasaan harus dipahami  sebagai sesuatu yang bermakna banyak dan beragam hubungan dalam masyarakat, tidak bisa dilokalisasi pada tempat tertentu menjadi milik seseorang, sehingga memerlukan strategi kompleks   untuk mendapatkannya (Haryatmoko, 2002: 12). Peta politik baik yang bersifat nasional maupun lokal dalam konteks ini akan dapat dibedah dari proses politik pemilu.

C. Peta Politik Nasional
Gambaran kontemporer terhadap  peta politik nasoional pintu masuknya dapat dinalisis melalui hasil pemilu legislatif maupun presiden dan wakil presiden. Pendekatan historis memberikan gambaran bahwa peta politik nasional mengalami dinamika pasang surut berfluktuatif. Pada masa orde baru, Golkar sebagai kekuatan politik dominan mengendalikan hampir keseluruhan aspek politik. Reformasi telah menjungkalkan domiminasi politik Golkar, dengan munculnya kekuatan politik “rakyat” yang dipresentasikan oleh PDI-P (1999-2004). Ketika itu PDI-P keluar sebagai pemenang pemilu disusul oleh Golkar. Walaupun keluar sebagai pemenang pemilu ternyata calon presiden dari PDI-P tidak memenangkan proses pemilihan ketika itu. Justru yang menjadi presiden adalah Abdulrahman Wahid yang nota benana berbasis pada PKB,  disokong kekuatan politik poros tengah dengan Amin Rais sebagai aktor intelektualnya,  berhasil “menjegal” gerakan PDI-P dan harus puas pada posisi wakil presiden. Jatuhnya Gus dur mengangkat Megawati menjadi Presiden.   Pemilu 2004, kekuatan Golkar bangkit kembali dengan memenangkan pemilu legislatif menggeser PDI-P ke posisi runer up. Pada saat itu pula telah lahir satu partai politik baru yakni Partai Demokrat yang dibidani oleh SBY.
Sebagai partai “baru” Partai Demokrat ternyata hasilnya mengejutkan, Demokrat yang dalam pemilu 2004 memperoleh hanya 7%, mengalami lompatan yang luarbiasa, dengan merahi 20,85% suara.  Pesona kekuasaan yang dimainkan SBY mampu menjadi magnetude menarik simpati rakyat.  Ini merupakan modal yang luarbiasa bagi pencitraan partai Demokrat sehingga tampil sebagai pemenang dengan komposisi sebagai berikut; Dari 38 partai politik nasional, hanya 9 partai yang memenuhi ambang batas perolehan suara 2,5 persen.Sementara29 partai lainnya harus tersingkir. Berikut perolehan 9 partai politik tersebut secara lengkap.
Nama Partai
Perolehan Suara
Persentase Suara
Jumlah Kursi DPR
Partai Demokrat
21.703.137
20,85%
148
Partai Golkar
15.037.757
14,45%
108
PDI-Perjuangan
14.600.091
14,03%
93
PKS
8.206.955
7,88%
59
PAN
6.254.580
6,01%
42
PPP
5.533.214
5,32%
39
PKB
5.146.122
4,94%
26
Gerindra
4.646.406
4,46%
30
Hanura
3.922.870
3,77%
15





Sedangkan untuk pilpres, kalau dilihat dari hasil rekapitulasi perolehan suara sah yang masuk adalah sebanyak 121.504.481 suara. Pasangan SBY-Boediono memperoleh kemenangan di lebih dari 20 % jumlah seluruh provinsi di Indonesia. Data perolehan hasil rekapitulasi penghitungan suara masing-masing Calon adalah 1. Pasangan Capres/Cawapres  Megawati-Prabowo  32.548.105 suara sah secara nasional atau (26,79%) 2. Pasangan Capres/Cawapres  SBY-Budiono : 73.874.562 suara sah secara nasional atau (60,80%)  3. Pasangan Capres/Cawapres  JK-Wiranto : 15.081.814 suara atau (12,41%) suara sah secara nasional. Dalam perspektif ideologis, gambaran partai politik dan kemenangan Presiden dan Wakil Presiden masih di pegang oleh kelompok nasionalis-religius. Partai yang berbasis aliran masih tetap laku  walaupun dukungannya bersifat  konstan. Namun di jajaran eksekutif kekuatan ini tampaknya mulai merasuk tidak saja di tataran mentri, dan besar kemungkinan gerbong di tingkat dirjen ke bawah akan terbawa.
Kabinet Indonesia bersatu jilid II telah diumukan dan tanggal 22 Oktober 2009 dilantik. Komposisi kabinet tersebut menjadi gambaran arah koalisis partai politik dalam menjalankan roda pemerintahan. Tampak Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu mendudukkan mentrinya relatif banyak (6 mentri) ditambah mentri dari kalangan profesional (secara psikologis akan merapat dan mendekat ke Demokrat). Mitra koalisis pada saat pilpres mendapatkan “jatah”  mentri yang proporsional. PKS dengan 4 mentri, PAN 2 Mentri, PKB 2 mentri. Golkar yang awalnya menjadi rival politik pada saat pilpres, arahnya dari awal sudah bisa ditebak. Gambaran ini sudah terbaca pada saat munas yang menggolkan Aburisal Brkrie sebagai ketum menggantikan Yusuf Kalla. Dan terbukti Golkar mendapatkan 3 jatah mentri.
Sementara PDI-P yang awalnya melakukan hubungan politik ketika menggolkan posisi-posisi penting di legislatif (dengan terpilihnya Taufik Kiemas menjadi ketua MPR didukung oleh salah satunya Demokrat). Pleno DPP PDI_P telah memutuskan tidak beroposisi terhadap pemerintah, tetapi akan memposisikan diri sebagai partai yang kritis, konstruktif dan strategis sebagai penyeimbang pemerintrah (Bali Post, 22 Oktober, hal. 1). Sedangkan Hanura dan Gerindra secara akan memilih oposisi.
Dengan koalisis gemuk yang dibangun di pemerintahan, ada harapan akan mebentuk pemerin tahan yang kuat dengan dukungan politik diparlemen moyoritas.Duduknya beberapa pimpinan parpol di jajaran  kabinet menjadi pertanda awal bagaimana anggota legislatif khususnya dari mitra koalisi akan mengambil sikap kritis terhadap pemerintah. Asumsinya kerena mereka partai pendukung pemerintah maka akan bersikap konserfatif dan mungkin juga depensif. Karena masih asumsi tentu perlu diuji kebenarannya, dan sang waktu akan menjawabnya.
Ditingkat operasional, kekuatan-kekuatan internal masing-masing parpol akan membawa gerbong masing-masing untuk memasukkan kepentingan politiknya kedalam program kerja kabinet. Bisa jadi, gorbong berikutnya akan bergerak ke tataran birokrasi walaupun secara normatif birokrasi itu mesti netral. Disinilah menjadi titik krusial dari koalisi besar itu. Bias sinarnya akan menyeruak sampai ke tingkat lokal.

D. Peta Politik Lokal
Perubahan peta politik nasional baik langsung maupun tudak langsung, berdampak pada perubahan peta politik lokal. Di Bali sendiri dominasi PDI-P masih sangat kuat. Hal ini dapat dimaklumi karena Bali memiliki basis dukung ideologis yang kuat terhadap partai nasionalis. Kuatnya basis dukungan ini bukan berarti tidak ada perubahan. Hasil pemilu 2009 menunjukkan perolehan suara dan kursi PDI-P di Kabupaten /Kota dan Provinsi Balli mengalami penurunan. Sementara Golkar relatif stabil, sedangkan Demokrat mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari perolehan kursi dari masing-masing partai politik pada pemilu 2009 di tingkat provinsi Bali dapat dilihat sebagaimana tabel berikut yang disusun atas dasar urutan perolehan kursi:
Komposisi Perolehan Kursi Partai Politik di Tingkat Provinsi Bali dalam Pemilu Th. 2004-dan Th.2009
No.
Nama Parpol
2004
2009
Ket.
1.
PDI-P
30
24
turu 6 kursi
2.
Golkar
14
12
Turun 2 kursi
3.
Demokrat
3
10
Naik 7 kursi
4.
Gerindra
-
2
Pendatang baru
5.
PNBK
1
2
naik 1 kursi
6.
Hanura
-
1
Pendtng baru
7.
PKPB
3
1
Turun 2 kursi
8.
Pakarpangan
-
1
Pedtng baru
9
PKPI
-
1

10
PNI Marhenisme
2
1
Turun 1 kursi
11
PPP
1
-

12
PPIB
1
-


Jumlah
55
55



Data tersebut menggambarkan adanya dinamika dan fluktuasi peta politik lokal yang sangat dinamis.Nasmun pergeseran dan pergerakan itu masih dalam satu kerangka ideologis nasionalis sebagai pilihan partai politiknya.
Kalau dilihat dari penguasaan di eksekutif, Dominasi PDI-P masih memenangkan perebutan kekuasaan di beberapa daerah seperti di Tk. Provinsi, Kota Denpasar, Tabanan, Jemberana (walau di tengah jalan dikeluarkan oleh PDI-P), Bangli, Buleleng, Kelungkung. Sedangkan Golkar menguasai Karangasem (koalisis), Gianyar (Koalisi).
No.
Provinsi/Kabupaten Kota
Kepala Daerah diusung oleh Parpol
Keterangan
1.
Bali
PDI-P

2.
Denpasar
PDI-P

3.
Badung
Golkar + Koalisi

4.
Tabanan
PDI-P

5.
Jemberana
PDI-P
Sudah Keluar
6
Buleleng
PDI-P

7.
Karangasem
Golkar + Koalisi

8.
Kelungkung
PDI-P

9.
Bangli
PDI-P

10.
Gianyar
Golkar + Koalisi


Pata politik ini menggambarkan ada perbedaan yang signifikan antara kemenangan dalam pemilu legislatif dengan memenangkan pilkada. Secara umum peta kekuatan politik baik di provinsi maupun kabupaten/kota masih didominasi oleh PDI-P walau secara kalkulatif tidak sebagai kekuatan mayoritas (diatas 50%) kecuali Kabupaten Tabanan. Sesungguhnya perolehan suara antara pemili legislatif dengan calon kepala daerah yang diusung oleh PDI-P relatif signifikan. Oleh karena tidak menguasai di atas 50% maka ketika lawan politiknya melakukan koalisi dengan pola had to had besar kemungkinan dikalahkan, contoh kasus Badung dan Gianyar. Sementara di Karangasem justru berlaku sebalinya, dengan banyaknya calon justru suara PDI-P yang terpecah.
Berdasrkan kalkulasi politik tersebut dapat dikatakan bahwa peta politik baik nasional maupun lokal akan bergerak sangat dinamis. Hal ini disebabkan oleh sistem politik demokratis telah memberikan ruang gerak kebebasan untuk mendirikan partai politik. Rakyat sudah mulai merasakan dan menikmati kebebasan politik. Kesadaran akan perbedaan pilihan partai sudah mulai tumbuh. Ikatan ideologi partai mengendor, sehingga seseorang bisa dengan leluasa loncat sana-loncat sini. Harapan kedepan sejatinya dengan sistem politik yang demkratis, setiap kekuatan politik yang ada bersaing dan berlomba-lomba untuk berbuat yang terbaik untuk rakyat, membangun kesejateraan yang adil dan merata sehingga makna politik dan demokrasi substantif yakni kesetaraan, keadilan, kebebasan dan kesejahteraan dapat terwujud.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar