Oleh: Barra Pravda
·
Situasi Nasional (Ekonomi-Politik) Dan
Kaitannya Dengan Pembangunan Organisasi Gerakan Mahasiswa
Secara umum, situasi nasional—dalam
skema besar—adalah hasil dari situasi yang dibentuk oleh kebutuhan capital mengembangkan
dirinya. Dalam batas-batas tertentu perputaran capital, neo-liberalisme
membutuhkan ruang agar leluasa bergerak. Itu merupakan kesimpulan bahwa krisis
demi krisis adalah timbal balik yang logis dari cara produksi kapitalisme. Memunculkan alternatif terhadap neo-liberalisme
menjadi penting—baik dalam praktek/teori. Meskipun neo-liberalisme begitu
tersudutkan oleh krisis-krisis terdahulu, tapi masih belum menemui tantangan yang
cukup berarti untuk keruntuhannya. Terlebih, gerakan belum bisa maksimal mengolah
momentum krisis. Oleh Gramsci, krisis berarti "revolusi pasif",
dimana kekuatan lama mempertahankan kekuasaanya dengan cara mengadaptasikan secara
terbatas tuntutan-tuntutan kekuatan baru.
Lebih konkrit lagi sekarang
adalah: batas-batas pergerakan capital semakin membentur banyak situasi (meskipun
dengan banyak cara mereka mati-matian bertahan) terutama benturan dengan
sosial-masyarakat. Jangankan pakar ekonomi borjuis, Marx-pun mungkin akan heran
melihat bagaimana borjuasi menyiasati perkembangan kapital dalam kapitalisme sedemikian
rupa agar selamat dari kontradiksi internalnya; diversifikasi, saham, gabungan
saham (porto-folio), neo-liberalisme—neo-konservatisme. Bagaimana tidak, seruan
penolakan globalisasi penindasan kapital lambat laun merebak di beberapa
belahan dunia, bahkan di dalam negeri kapitalis itu sendiri (AS). Yang baru
saja terjadi adalah krisis Eropa, Amerika kemudian Timur Tengah. Di dalam negri
tampak belum bergeming dari ruang hampa radikalisasi, meskipun ada gerakan
buruh yang sedikit menggeliat bergerak dari titik ekonomis; menuntut upah, melawan
PHK, radikalisme rakyat menolak perusahaan korporasi (Tiaka, Papua, Palu) dan
penyerobotan lahan (Mesuji, Padang, Kebumen, Jambi). Kabar paling fenomenal
adalah aksi bakar diri Sondang Hutagalung, mahasiswa UBK Jakarta yang
dilakukannya di seberang istana Negara. Kejadian bakar diri tersebut hampir
bersamaan dengan situasi merebaknya rentetan pergolakan rakyat.
·
Tentang Kesadaran Rakyat: Dunia Eksternal (Realitas)
Bukan Menifestasi Pikiran, Maka Keberadaan-Lah Yang Menentukan Gagasan (Merubah
Keberadaan Sosial).
Jangan bermimpi Sondang
Hutagalung berubah menjadi Mohammed Bouazizi tanpa memberdayakan kekuatan
organisasi pelopor untuk mengolah massa.
Dengan meluasnya penindasan, kenapa
massa—yang “belum merasakan penindasan”—masih enggan bergabung dengan gerakan
rakyat, atau setidaknya ada dukungan luas kepada gerakan? Pertanyaan tersebut sebaiknya
direnungi saja dan tidak akan kita bahas dalam tulisan singkat ini, karena akan
lebih baik jika kita berbicara dahulu tentang bagaimana sebaik-baiknya organisasi
revolusioner memenuhi syarat untuk menggerakkan revolusi, berada di
tengah-tengah kesadaran massa yang sedang berjuang.
Jika dilihat dalam konsepsi
dialektika antara kesadaran massa dan kaum pelopor, maka benar bahwa:
penindasan/kemiskinan tidak serta-merta memunculkan perlawanan untuk kemudian
merubah tatanan (revolusi sosial). Artinya adalah, butuh perluasan kesadaran
tentang penindasan dan dukungan terhadap radikalisme rakyat yang telah
berhadap-hadapan langsung dengan penindasan itu sendiri. Mudahnya adalah, butuh
kekuatan organisasi radikal yang mapan, yang memiliki kesanggupan untuk
memimpin kesadaran dan gerak. Di sini kita akan lebih baik fokus berbicara
tentang bagaimana kita (gerakan mahasiswa) sanggup berpropaganda dan bekerja
bersama massa, agar makin memiliki syarat untuk mengolah potensi radikalisasi
yang muncul dari massa. Namun, bagaimana jika kita diperhadapkan dengan situasi
bahwa pergolakan rakyat yang sedang marak belakangan ini ternyata masih jauh
dari jangkauan gerakan mahasiswa. Dalam spektrum tuntutan/isu masih belum dekat
dari hal-hal yang bersinggungan terhadap persoalan-persoalan kampus (pendidikan).
Tanpa adanya dorongan gerakan
dan luasnya kesadaran hanya akan menyia-nyiakan Sondang, Mohammed Bouazizi
(Mesir) dan Self-Immolation Tibet.
·
Mahasiswa Dan Organisasinya (Tugas dan Fungsi)
Sesuai analisa Marxisme, peran kaum terpelajar/mahasiswa
dalam kelas-kelas masyarakat memiliki tanggung-jawab sebagai kelompok yang
harus mengambil bagian dalam revolusi sosialis, itulah kenapa Marx menganggap kaum
terpelajar/mahasiswa sebagai borjuis kecil, dimana dalam pengelompokan filsafat
kelasnya, ia masuk dalam kelompok non-fundamental, artinya, bisa saja dia
menjadi penindas baru, bisa juga dia berbalik menjadi pembela kaum buruh,
menjadi motor penggerak perjuangan kelas, tinggal bagaimana syarat-syarat
materialnya (mahasiswa/pelajar) untuk menjadi bagian dari perjuangan kelas
proletar diberikan oleh organisasi/kolektif, selain juga memang karena kehendak
dirinya untuk berkesadaran kelas proletar. Dialektika obyektif dan subyektif...
(https://www.facebook.com/note.php?note_id=10150346946020106)
Untuk lebih jelas melihat apa
tugas mendasar organisasi mahasiswa, yang sesuai dan diperlukan dalam
pemerintahan sosialis, Lenin menyingkat narasinya sebagai berikut:
“…dalam satu pemikiran tertentu bisa dikatakan
bahwa pemudalah yang akan berhadapan dengan tugas-tugas aktual untuk
menciptakan sebuah masyarakat komunis. Selama ini jelas, bahwa generasi kaum
pekerja yang bangkit dalam masyarakat kapitalis setidaknya menyelesaikan tugas
penghancuran dasar-dasar dari yang lama, pandangan hidup kapitalis, yang
dibangun atas penghisapan. Setidaknya generasi itu yang akan mampu
menyelesaikan tugas-tugas untuk membentuk sebuah sistem sosial, yang akan
membantu proletariat dan klas pekerja mempertahankan kekuasaan dan meletakkan
sebuah pondasi yang kuat, yang dapat dibangun hanya oleh sebuah generasi yang
mulai bekerja di bawah kondisi yang baru, dalam sebuah situasi dimana
hubungan-hubungan yang berdasar pada penghisapan manusia atas manusia sudah
tidak ada lagi. Dan selanjutnya, berangkat dari sudut pandang ini yang
disesuaikan dengan tugas-tugas yang menghadang pemuda, Saya harus mengatakan
bahwa tugas-tugas dari pemuda secara umum, Liga Pemuda Komunis dan khususnya
semua organisasi lain, bisa diringkas dalam satu kata tunggal, yaitu: BELAJAR”.
Tak
bisa berhenti sampai di situ, kita harus menggali lagi dengan pertanyaan:
Belajar tentang apa?
Belajar
tentang realitas dunia (cognizible) sebagai objek yang harus disadari dan
tentang manusia sebagai subjek yang harus sadar (cognitive). Pentingnya belajar
tentang dua hal itu agar kemampuan yang didapat dari proses belajar (di
organisasi ataupun akademik) bisa digunakan untuk terus mengkonfirmasi
kenyataan ke dalam pengetahuan sosial; mengenali gejala perlawanan dan
mentransformasikan kepada massa luas.
“…gerakan
mahasiswa Indonesia, haruslah memberikan kesimpulan apakah gerakan tersebut, dalam orientasi dan
tindakan politiknya, benar-benar
mengarah dan bersandar pada problem-problem dan kebutuhan struktural rakyat Indonesia. Orientasi dan
tindakan politik merupakan cermin dari
bagaimana mahasiswa Indonesia memahami masyarakatnya, menentukan pemihakan pada
rakyatnya serta kecakapan merealisasi nilai-nilai tujuan atau ideologinya”.
Nilai lebih
organisasi dalam gerakan mahasiswa hanyalah bermakna bahwa
di dalam organisasi, mahasiswa ditempa dan dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Pemahaman terhadap masyarakat dan persoalan-persoalannya.
2. Pemihakan pada rakyat.
3. Kecakapan-kecakapan dalam mengolah massa.
Ketiga syarat tersebut
mencerminkan:
1. Tujuan dan orientasi gerakan mahasiswa.
2. Metodologi gerakan mahasiswa.
3. Strukturalisasi
sumber daya manusia, logistik dan
keuangan gerakan mahasiswa, dan
4. Program-program
gerakan mahasiswa yang bermakna
strategis-taktis.
(Danial Indrakusuma: Sumbangan pemikiran untuk Gerakan Mahasiswa)
Point umum dari syarat dan
cerminan gerakan mahasiswa di atas bermakna untuk, mengetahui sejauh mana
sebuah organisasi mahasiswa bisa diidentifikasi sebagai gerakan yang sanggup
memanggul beban menyelesaikan tugas sejarah yaitu, pembebasan nasional menuju revolusi
sosialis. Termasuk juga gerakan harus memiliki tujuan tidak sekedar perubahan
sistem politik, namun juga harus memiliki tujuan ideologis sesuai makna
revolusi itu sendiri, yaitu: perubahan radikal seluruh tatanan struktur dari legal-politik—istilah Althusser—atau Negara
berikut ekonomi (cara produksi) hingga nilai/norma (kebudayaan) yang berlaku
dalam masyarakat.
Artikel di atas hanyalah
gambaran umum mengenai landasan mengapa kita butuh memperkuat gerak organisasi dengan
tujuan agar memiliki kesanggupan sebagai pelopor perjuangan, memperluas
gagasan, membangun kesadaran dan menghimpun massa. Untuk lebih konkritnya apa
tugas-tugas mendesak saat ini, mari kita diskusikan bersama tentang pentingnya
membangun kekuatan kolektif organisasi.
Terimakasih.
Salam
juang !
Terus
berkobar !