Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi
sendiri diciptakan oleh Destutt
de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk
mendefinisikan "sains tentang ide".
Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai
cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung),
secara umum (lihat Ideologi dalam kehidupan sehari hari) dan beberapa arah
filosofis (lihat Ideologi politis), atau sekelompok ide yang diajukan oleh
kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat. Tujuan untama dibalik
ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif.
Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide)
yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti
politik. Secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun
tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit.(definisi ideologi
Marxisme).
Definisi
Ideologi
Definisi memang penting. Itu
sebabnya Ibnu Sina pernah berkomentar:
“
|
Tanpa definisi, kita tidak akan
pernah bisa sampai pada konsep.
|
”
|
Karena itu menurut beliau, sama
pentingnya dengan silogisme (baca : logika berfikir yang benar) bagi setiap
proposisi (dalil atau pernyataan) yang kita buat.
Mabda’ secara etimologis adalah
mashdar mimi dari kata bada’ayabdau bad’an wa mabda’an yang berarti permulaan.
Secara terminologis berarti pemikiran mendasar yang dibangun diatas
pemikiran-pemikiran (cabang )[dalam Al-Mausu’ah al-Falsafiyah, entry
al-Mabda’]. Al-Mabda’(ideologi) : pemikiran mendasar (fikrah raisiyah) dan
patokan asasi (al-qaidah al-asasiyah) tingkah laku. Dari segi logika al-mabda’
adalah pemahaman mendasar dan asas setiap peraturan [lihat catatan tepi kitab Ususun
Nahdhah ar-Rasyidah, hal 36]
Selain definisi di atas, berikut ada
beberapa definisi lain tentang ideologi:
- Wikipedia Indonesia:
Ideologi
adalah kumpulan ide atau gagasan atau aqidah 'aqliyyah (akidah yang sampai
melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan.
Ideologi
adalah studi terhadap ide – ide/pemikiran tertentu.
Ideologi
adalah inti dari semua pemikiran manusia.
Ideologi
adalah sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa.
- Thomas H:
Ideologi
adalah suatu cara untuk melindungi kekuasaan pemerintah agar dapat bertahan dan
mengatur rakyatnya.
- Francis Bacon:
Ideologi
adalah sintesa pemikiran mendasar dari suatu konsep hidup.
- Karl Marx:
Ideologi
merupakan alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam
masyarakat.
- Napoleon:
Ideologi
keseluruhan pemikiran politik dari rival–rivalnya.
Ideologi
(Mabda’) adalah Al-Fikru al-asasi al-ladzi hubna Qablahu Fikrun Akhar,
pemikiran mendasar yang sama sekali tidak dibangun (disandarkan) di atas
pemikiran pemikiran yang lain. Pemikiran mendasar ini merupakan akumulasi
jawaban atas pertanyaan dari mana, untuk apa dan mau kemana alam, manusia dan
kehidupan ini yang dihubungkan dengan asal muasal penciptaannya dan kehidupan
setelahnya?
- Dr. Hafidh Shaleh:
Ideologi
adalah sebuah pemikiran yang mempunyai ide berupa konsepsi rasional (aqidah
aqliyah), yang meliputi akidah dan solusi atas seluruh problem kehidupan
manusia. Pemikiran tersebut harus mempunyai metode, yang meliputi metode untuk
mengaktualisasikan ide dan solusi tersebut, metode mempertahankannya, serta
metode menyebarkannya ke seluruh dunia.
- Taqiyuddin An-Nabhani:
Mabda’
adalah suatu aqidah aqliyah yang melahirkan peraturan. Yang dimaksud aqidah
adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup,
serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, di samping
hubungannya dengan Zat yang ada sebelum dan sesudah alam kehidupan di dunia
ini. Atau Mabda’ adalah suatu ide dasar yang menyeluruh mengenai alam semesta,
manusia, dan hidup. Mencakup dua bagian yaitu, fikrah dan thariqah.
Secara garis besar dapat disimpulkan
bahwa Ideologi(mabda’) adalah pemikiran yang mencakup konsepsi mendasar tentang
kehidupan dan memiliki metode untuk merasionalisasikan pemikiran tersebut
berupa fakta, metode menjaga pemikiran tersebut agar tidak menjadi absurd dari
pemikiran-pemikiran yang lain dan metode untuk menyebarkannya.
Sehingga dalam Konteks definisi
ideologi inilah tanpa memandang sumber dari konsepsi Ideologi, maka Islam
adalah agama yang mempunyai kualifikasi sebagai Ideologi dengan padanan dari
arti kata Mabda’ dalam konteks bahasa arab.
Apabila kita telusuri seluruh dunia
ini, maka yang kita dapati hanya ada tiga ideologi (mabda’). Yaitu Kapitalisme,
Sosialisme termasuk Komunisme, dan Islam. Untuk saat ini dua mabda pertama,
masing-masing diemban oleh satu atau beberapa negara. Sedangkan mabda yang
ketiga yaitu Islam, saat ini tidak diemban oleh satu negarapun, melainkan
diemban oleh individu-individu dalam masyarakat. Sekalipun demikian, mabda ini
tetap ada di seluruh penjuru dunia.
Sumber konsepsi ideologi kapitalisme
dan Sosialisme berasal dari buatan akal manusia, sedangkan Islam berasal dari
wahyu Allah SWT (hukum syara’).
Ibnu Sina mengemukakan masalah
tentang ideologi dalam Kitab-nya "Najat", dia berkata:
"Nabi dan penjelas hukum Tuhan
serta ideologi jauh lebih dibutuhkan bagi kesinambungan ras manusia, dan bagi
pencapaian manusia akan kesempurnaan eksistensi manusiawinya, ketimbang
tumbuhnya alis mata, lekuk tapak kakinya, atau hal-hal lain seperti itu, yang
paling banter bermanfaat bagi kesinambungan ras manusia, namun tidak perlu
sekali."
Tipe-Tipe Ideologi
Terdapat dua tipe ideologi sebagai
ideologi suatu negara. Kedua tipe tersebut adalah ideologi tertutup dan ideologi
terbuka.[1] Ideologi tertutup adalah ajaran atau pandangan dunia
atau filsafat yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial,
yang ditasbihkan sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi,
melainkan harus diterima sebagai sesuatu yang sudah jadi dan harus dipatuhi.
Kebenaran suatu ideologi tertutup tidak boleh dipermasalahkan berdasarkan
nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang lain. Isinya dogmatis dan apriori
sehingga tidak dapat dirubah atau dimodifikasi berdasarkan pengalaman sosial.
Karena itu ideologi ini tidak mentolerir pandangan dunia atau nilai-nilai lain.
Salah satu ciri khas suatu ideologi
tertutup adalah tidak hanya menentukan kebenaran nilai-nilai dan
prinsip-prinsip dasar saja, tetapi juga menentukan hal-hal yang bersifat
konkret operasional. Ideologi tertutup tidak mengakui hak masing-masing orang
untuk memiliki keyakinan dan pertimbangannya sendiri. Ideologi tertutup
menuntut ketaatan tanpa reserve.
Ciri lain dari suatu ideologi tertutup
adalah tidak bersumber dari masyarakat, melainkan dari pikiran elit yang harus
dipropagandakan kepada masyarakat. Sebaliknya, baik-buruknya pandangan yang
muncul dan berkembang dalam masyarakat dinilai sesuai tidaknya dengan ideologi
tersebut. Dengan sendirinya ideologi tertutup tersebut harus dipaksakan berlaku
dan dipatuhi masyarakat oleh elit tertentu, yang berarti bersifat otoriter dan
dijalankan dengan cara yang totaliter.
Contoh paling baik dari ideologi
tertutup adalah Marxisme-Leninisme. Ideologi yang dikembangkan dari pemikiran
Karl Marx yang dilanjutkan oleh Vladimir Ilianov Lenin ini berisi sistem
berpikir mulai dari tataran nilai dan prinsip dasar dan dikembangkan hingga praktis
operasional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ideologi
Marxisme-Leninisme meliputi ajaran dan paham tentang (a) hakikat realitas alam
berupa ajaran materialisme dialektis dan ateisme; (b) ajaran makna sejarah
sebagai materialisme historis; (c) norma-norma rigid bagaimana masyarakat harus
ditata, bahkan tentang bagaimana individu harus hidup; dan (d) legitimasi
monopoli kekuasaan oleh sekelompok orang atas nama kaum proletar.[2]
Tipe kedua adalah ideologi terbuka.
Ideologi terbuka hanya berisi orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke
dalam tujuan-tujuan dan norma-norma sosial-politik selalu dapat dipertanyakan
dan disesuaikan dengan nilai dan prinsip moral yang berkembang di masyarakat.
Operasional cita-cita yang akan dicapai tidak dapat ditentukan secara apriori,
melainkan harus disepakati secara demokratis. Dengan sendirinya ideologi
terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai melegitimasi
kekuasaan sekelompok orang. Ideologi terbuka hanya dapat ada dan mengada dalam
sistem yang demokratis.
Ideologi dan Konstitusi: Pancasila Sebagai Ideologi
Terbuka
Menurut Brian Thompson, secara sederhana pertanyaan: what is a
constitution dapat dijawab bahwa “…a constitution is a document which
contains the rules for the the operation of an organization”[3]. Organisasi
dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya. Negara sebagai salah
satu bentuk organisasi, pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut
sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Hanya Inggris dan Israel saja yang
sampai sekarang dikenal tidak memiliki satu naskah tertulis yang disebut
Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar di kedua negara ini tidak pernah
dibuat, tetapi tumbuh[4] menjadi
konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan. Namun para ahli tetap dapat
menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris.[5]
Berlakunya suatu konstitusi sebagai
hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip
kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan
rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku
adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu
konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent
power[6] yang merupakan kewenangan yang berada
di luar dan sekaligus di atas sistem yang diaturnya. Karena itu, di lingkungan negara-negara
demokrasi, rakyatlah yang dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi.
Constituent power mendahului konstitusi, dan konstitusi
mendahului organ pemerintahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan
konstitusi.[7] Pengertian constituent
power berkaitan pula dengan pengertian hirarki hukum (hierarchy of law).
Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta
paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber
legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan
perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal,
maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di bawah Undang-Undang
Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh
bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut.
Konstitusi selalu terkait dengan paham
konstitusionalisme. Walton H. Hamilton menyatakan “Constitutionalism
is the name given to the trust which men repose in the power of words engrossed
on parchment to keep a government in order”[8].
Untuk tujuan to keep a government in order itu diperlukan pengaturan
yang sedemikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan
dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya. Gagasan mengatur dan
membatasi kekuasaan ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk
merespons perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan umat
manusia.
Konstitusionalisme di zaman sekarang
dianggap sebagai suatu konsep yang niscaya bagi setiap negara modern. Seperti dikemukakan oleh C.J. Friedrich sebagaimana dikutip
di atas, “constitutionalism is an institutionalized system of effective,
regularized restraints upon governmental action”. Basis pokoknya adalah
kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas
rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi
negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka
bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan
mekanisme yang disebut negara.[9]
Kata kuncinya adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepakatan
umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan negara yang
bersangkutan, dan pada gilirannya perang saudara (civil war) atau
revolusi dapat terjadi. Hal ini misalnya, tercermin dalam tiga peristiwa
besar dalam sejarah umat manusia, yaitu revolusi penting yang terjadi di
Perancis tahun 1789, di Amerika pada tahun 1776, dan di Rusia pada tahun 1917,
ataupun peristiwa besar di Indonesia pada tahun 1945, 1965 dan 1998.
Konsensus
yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern pada umumnya
dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu[10]:
1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the
general goals of society or general acceptance of the same philosophy of
government).
2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan
pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government).
3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur
ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).
Kesepakatan
(consensus) pertama, yaitu berkenaan dengan cita-cita bersama sangat
menentukan tegaknya konstitusi dan konstitusionalisme di suatu negara. Karena
cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mungkin
mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat
yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kemajemukan.
Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin kebersamaan dalam
kerangka kehidupan bernegara, diperlukan perumusan tentang tujuan-tujuan atau
cita-cita bersama yang biasa juga disebut sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee
(cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common
platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat
dalam konteks kehidupan bernegara.
Di
Indonesia, dasar-dasar filosofis yang dimaksudkan itulah yang biasa disebut
sebagai Pancasila yang berarti lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai
atau mewujudkan empat tujuan bernegara. Lima prinsip dasar Pancasila itu
mencakup sila atau prinsip (i) Ketuhanan Yang Maha Esa; (ii) Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab; (iii) Persatuan Indonesia; (iv) Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan (v) Keadilan Sosial
bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dipakai sebagai dasar
filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal bernegara,
yaitu: (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia; (ii) meningkatkan kesejahteraan umum; (ii) mencerdaskan kehidupan
bangsa; dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial.
Kesepakatan kedua adalah kesepakatan
bahwa basis pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi.
Kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap
negara harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam
konteks penyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule of the game
yang ditentukan bersama. Istilah yang biasa digunakan untuk itu adalah the
rule of law yang dipelopori oleh A.V. Dicey, seorang sarjana Inggris
kenamaan. Bahkan di Amerika Serikat istilah ini dikembangkan menjadi jargon,
yaitu The Rule of Law, and not of Man untuk menggambarkan pengertian
bahwa hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu negara,
bukan manusia atau orang.
Istilah
The Rule of Law jelas berbeda dari istilah The Rule by Law. Dalam
istilah terakhir ini, kedudukan hukum (law) digambarkan hanya sekedar
bersifat instrumentalis atau alat, sedangkan kepemimpinan tetap berada
di tangan orang atau manusia, yaitu The Rule of Man by Law. Dalam
pengertian demikian, hukum dapat dipandang sebagai suatu kesatuan sistem yang
di puncaknya terdapat pengertian mengenai hukum dasar yang tidak lain adalah
konstitusi, baik dalam arti naskah tertulis ataupun dalam arti tidak tertulis.
Dari sinilah kita mengenal adanya istilah constitutional state yang
merupakan salah satu ciri penting negara demokrasi modern. Karena itu, kesepakatan tentang sistem
aturan sangat penting sehingga konstitusi sendiri dapat dijadikan pegangan
tertinggi dalam memutuskan segala sesuatu yang harus didasarkan atas hukum.
Tanpa ada konsensus semacam itu, konstitusi tidak akan berguna, karena ia akan
sekedar berfungsi sebagai kertas dokumen yang mati, hanya bernilai semantik dan
tidak berfungsi atau tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya.
Kesepakatan ketiga adalah berkenaan
dengan (a) bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatur
kekuasaannya; (b) hubungan-hubungan antar organ negara itu satu sama lain;
serta (c) hubungan antara organ-organ negara itu dengan warga negara. Dengan
adanya kesepakatan itu, maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan
karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan institusi
kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka
kehidupan negara berkonstitusi (constitutional state). Kesepakatan-kesepakatan
itulah yang dirumuskan dalam dokumen konstitusi yang diharapkan dijadikan
pegangan bersama untuk kurun waktu yang cukup lama. Para perancang dan perumus
konstitusi tidak seharusnya membayangkan, bahkan naskah konstitusi itu akan
sering diubah dalam waktu dekat. Konstitusi tidak sama dengan undang-undang
yang dapat lebih mudah diubah. Karena itulah mekanisme perubahan Undang-Undang
Dasar memang sudah seharusnya tidak diubah semudah mengubah undang-undang.
Sudah tentu, tidak mudahnya mekanisme perubahan undang-undang dasar tidak
boleh menyebabkan undang-undang dasar itu menjadi terlalu kaku karena tidak
dapat diubah. Konstitusi juga tidak boleh disakralkan dari kemungkinan
perubahan seperti yang terjadi di masa Orde Baru.
Keberadaan Pancasila sebagai falsafah
kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang berfungsi sebagai filosofische
grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara
sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara dalam kesepakatan
pertama penyangga konstitusionalisme menunjukkan hakikat Pancasila sebagai
ideologi terbuka. Terminologi Pancasila sebagai ideologi terbuka sesungguhnya
telah dikembangkan pada masa orde baru. Namun dalam pelaksanaannya pada masa
itu lebih menunjukkan Pancasila sebagai ideologi tertutup. Pancasila menjadi
alat hegemoni yang secara apriori ditentukan oleh elit kekuasaan untuk
mengekang kebebasan dan melegitimasi kekuasaan. Kebenaran Pancasila pada saat itu
tidak hanya mencakup cita-cita dan nilai dasar, tetapi juga meliputi kebijakan
praktis operasional yang tidak dapat dipertanyakan, tetapi harus diterima dan
dipatuhi oleh masyarakat.
Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah
membuka ruang membentuk kesepakatan masyarakat bagaimana mencapai cita-cita dan
nilai-nilai dasar tersebut. Kesepakatan tersebut adalah kesepakat kedua dan
ketiga sebagai penyangga konstitusionalisme, yaitu kesepakatan tentang the rule
of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis
of government) dan Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur
ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).
Kesepakatan-kesepakatan tersebut hanya mungkin dicapai jika sistem yang
dikembangkan adalah sistem demokrasi.
Pancasila sebagai ideologi bangsa
Indonesia memiliki perbedaan dengan sistem kapitalisme-liberal maupun
sosialisme-komunis. Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu
maupun hak masyarakat baik di bidang ekonomi maupun politik. Dengan demikian
ideologi kita mengakui secara selaras baik kolektivisme maupun individualisme.
Demokrasi yang dikembangkan, bukan demokrasi politik semata seperti dalam
ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi. Dalam sistem
kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan,
namun kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sistem etatisme,
negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara baik sebagai individu
maupun bersama-sama dengan warga negara lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar