Marxisme, dimulai sejak
jaman Marx, sudah memperkaya perdebatan tentang negara. Berbeda dengan
intelektual pada umumnya, marxisme menolak ide negara sebagai “badan yang
netral”.
Bagi marxisme, negara
bukanlah badan yang netral; ia adalah suatu organisasi kekerasan untuk menindas
suatu kelas. Pemahaman ini telah diterima dan diperkaya oleh kaum marxis sejak
jaman Marx hingga Lenin.
Soekarno adalah seorang
penganut marxisme. Ia mempelajari karya-karya kaum marxis dengan cukup baik. Ia
juga banyak belajar marxisme dari orang-orang yang disebut sebagai kaum marxis.
Itu berlangsung sejak ia indekos di rumah HOS Tjokroaminoto, tokoh besar
pergerakan nasional jaman itu, yang rumahnya seolah jadi “markas kaum
pergerakan”.
Pada tahun 1958, ketika
memberi kuliah pancasila di Istana Negara, Bung Karno mengurai panjang lebar
soal teori-negara Marx. Bung Karno memulai penjelasannya dengan mengeritik
keabsahan kesimpulan Hegel tentang negara, bahwa negara adalah penjelmaan dari
ide-ide yang luhur.
Bung Karno, seraya
menarik demarkasi dari Hegel, menjelaskan bahwa negara tak lain dan tak bukan
ialah sebuah organisasi. Atau, lebih tepatnya, sebuah organisasi kekuasaan (mechsorganisatie).
Friedrich Engels,
seperti dikutip Lenin dalam “Negara dan Revolusi”, juga mengeritik cara pandang
Hegel mengenai kemunculan negara. Bagi Engels, negara bukan merupakan kekuatan
yang dipaksakan dari luar kepada masyarakat, melainkan produk masyarakat pada
tingkat perkembangan tertentu (masyarakat berklas).
Soekarno mengutip
kesimpulan Marx: “negara sebagai manchtosganisatie di dalam tangannya suatu klas untuk menindas
klas yang lain.” Di dalam kapitalisme, negara menjadi manchtosganisatie di tangan kaum kapitalis untuk menindas
proletar.
Di situ, kata bung
Karno, kekuasaan negara akan digunakan untuk menjalankan kepentingannya
menindas kepentingan proletar.
Situasi
itu berubah ketika terjadi revolusi. Negara, kata Soekarno yang berusaha menjelaskan
fikiran Marx, yang awalnya di tangan kapitalis, akhirnya jatuh ke tangan klas
proletar. Pada saat itulah muncul bentuk negara baru: diktator
proletariat.
Dengan
diktatur proletariat ini, kata Bung Karno, akan menjadi alat kekuasaan
proletariat untuk menindas klas borjuis. Dengan demikian, katanya lagi, makin
lama borjuis makin lemah, semakin surut, dan akhirnya akan menghilang.
“Dan,
kalau tinggal cuma satu klas, maka itu bukan klas lagi,” tegas Bung Karno
ketika menjelaskan proses “melenyapnya negara” dalam teori Marx.
Itulah,
kata Soekarno, yang disebut Karl Marx sebagai masyarakat tanpa klas (klasseloze
maatschappij). Saat itu, ujar Soekarno lagi, manusia tetap ada dan bahkan
berkembang biak lebih banyak. Tetapi masyarakat itu tidak mempunyai klas lagi: klasseloos.
Dan,
karena itu pula, maka machtsorganisatie sebagai machtsorganisatie sudah tidak ada lagi.
Akhirnya, masyarakat pun menjadi stateloos (tanpa negara). Yang
tinggal hanya fungsi administrasi manusia-manusia, seperti fungsi guru, fungsi insinyur,
dan lain-lain.
Marx
sendiri punya rumusan sendiri mengenai lintasan perjuang klas proletar ini: 1)
bahwa adanya kelas-kelas itu hanya lah bertalian dengan fase-fase kesejarahan
khusus dalam perkembangan produksi [historische Entwicklungesphasen der
Produktion]; 2) bahwa perjuangan kelas pasti menuju pada diktatur proletariat;
3) bahwa diktatur ini sendiri hanyalah merupakan peralihan ke arah penghapusan
semua kelas dan ke arah masyarakat tanpa kelas.
Memang,
dibandingkan “Negara dan Revolusi”-nya Lenin, uraian Bung
Karno di atas memang terlalu singkat dan jauh dari lengkap, bahkan mungkin ada
yang meleset dari penyimpulannya terhadap teori negara Marx.
Bung
Karno banyak mengadopsi teori negara Marx dalam teori-teori politiknya. Ia,
misalnya, menganjurkan agar perjuangan kaum marhaen mestilah mengarah pada
pembangunan kekuasaan (machtvorming). Dengan machtvorming,
kaum proletar punya kekuasaan untuk mencapai kepentingan klasnya.
Mengapa?
Dalam tulisan “Mencapai Indonesia Merdeka”, ia telah mengutip kata-kata Marx;
“Tak pernah suatu klas mau melepaskan hak-hak istimewanya dengan kemauan
sendiri atau sukarela”. Jadi jelas, arah dari perjuangan marhaen adalah merebut
kekuasaan politik untuk melikuidasi klas penindasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar