Minggu, 24 Maret 2013

Pendidikan Hanya Meninggalkan Air Mata

saiful-haq-150x150
Ditulis Oleh:
Saiful Haq
Dosen Universitas Paramadina




Judul di atas di ambil dari artikel Sindhunata di majalah Basis edisi Juli-Agustus 2000. Judul ini sangat menarik perhatian kita. Banyak hal yang diwakili oleh air mata kita. Terkadang air mata menetes karena rasa bahagia yang yang tak terkatakan. Sayangnya saat ini bukan air mata seperti yang jatuh saat ini di pipi kita beberapa tahun terakhir ini, yang ada selama ini adalah jenis air mata yang mengucur deras karena penderitaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Air mata yang jatuh karena kebanyakan warga negara telah mengorbankan segala sesuatu untuk menyekolahkan anak-anak mereka, dengan harapan akan dapat meningkatkan harkat dan martabat hidup mereka sebagai anak manusia, namun akhirnya justru menyaksikan anak-anak itu menjadi Malin Kundang baru di abad ini. Dan anak-anak itu adalah produk dunia persekolahan kita.
Air mata itu mewakili kesesakan jiwa yang penat menatap arah reformasi yang masih sangat kurang menyentuh bidang hukum dan pendidikan, air mata itu juga mewakili keprihatinan mendalam melihat perilaku elite politik yang kekanak-kanakan dan tidak mencerminkan ada hasil dari proses pendidikan yang mereka nikmati di masa sebelumnya. Bukankah elite politik dewasa ini secara tidak langsung adalah produk dari sistem pendidikan kita yang kita sunat begitu saja menjadi sistem persekolahan selama beberapa dekade terakhir (1959-1998).
Untuk menghibur dan menguatkan hati, baiknya kita berusaha mengingat kata-kata Aristoteles bahwa, “Akar-akar pendidikan itu pahit, tetapi buahnya manis”. Dengan demikian kita diantar untuk menerima kenyataan bahwa kepahitan yang sekarang adalah merupakan suatu keharusan dalam arti tak terhindarkan. Kepahitan yang ada sekarang adalah buah dari “akar-akar pendidikan palsu” yang telah kita taburkan di masa lalu. Pendidikan palsu itu memuja segala sesuatu yang palsu, mulai dari angka statistik palsu, laporan palsu, skripsi palsu, senyum palsu, sistem keuangan palsu, reputasi palsu, perusahaan dan industri palsu, dan sekaligus melibatkan guru-guru palsu, gelar palsu, mata kuliah dan kurikulum palsu, orang tua palsu dan sebagainya. (Sumber: Andreas Harefa, "Menjadi Manusia Pembelajar")
Hasil dari pendidikan palsu tersebut tidak lain adalah manusia-manusia munafik yang kata dan perbuatannya saling berbantahan dengan sendirinya. Terlalu naif melemparkan semua tanggungjawab ke pundak politik elite orde baru, dan sangatlah konyol mengharapkan manusia-manusia orde baru akan dapat bersungguh-sungguh di era pasca orde baru ini. Lebih baik kita mengakui bahwa kita semua bersalah dalam memilih pohon dan pupuk di masa lalu. Setidaknya kita sangat kurang belajar dari sejarah bangsa kita sendiri.
Jika Pendidikan Mengasingkan Kemanusiaan
Pendidikan kita telah lama mengasingkan generasi muda kita dari lingkungan sosialnya, dari hasil quesioner yang disebarkan di Makassar terlihat bahwa 85 % pelajar SMU tidak mengetahui lagi keadaan sosial dimana mereka berdomisili, bahkan pertanyaan-pertanyaan yang paling mudahpun sulit mereka jawab, misalnya nama-nama tetangga mereka, jumlah angka dari tetangga mereka. Suatu keadaan yang jelas sangat memasung nilai-nilai gotong royong warisan nenek moyang kita. Pelajar dan mahasiswa kita hanya disibukkan dengan jadwal kuliah yang padat, serta pekerjaan rumah yang padat pula, setelah lulus usia mereka sudah terlambat untuk memulai bagaimana hidup dengan berkarya dari hasil pemikiran dan keringat sendiri, satu-satunya jalan adalah segera mencari pekerjaan dengan upah berapapun dan dimanapun.
Sungguh menyedihkan memang, mereka harus menjadi pelayan-pelayan Industri dimana konstribusi sosial sangat tidak diperhitungkan.
PENGASINGAN (estrangement/alienasi) bukan hanya berarti bahwa manusia tidak mengalami dirinya sebagai pelaku ketika sedang bekerja, tetapi juga berarti bahwa dunia (alam, benda dan manusia sendiri) tetap asing bagi manusia. Kematian dan kekosongan diungkapkan dalam Kitab Perjanjian Lama “Mata mereka tidak melihat, telinga yang mereka miliki tidak mendengar”. Semakin manusia memindahkan dirinya dan mengabdi pada Sistem Pendidikan yang ada sekarang, semakin dia tidak bisa menjadi dirinya, dan semakin sedikit bagian dari dirinya yang asli dapat diperolehnya.
Demikianlah Pendidikan Nasional kita tidak lagi mampu mencetak kader-kader bangsa sehebat Soekarno, Hatta, Syahrir dll., belum apa-apa mereka telah dijerat dengan berbagai embel-embel negatif, Makar, Komunis, Anarkis dsb. Jangan heran bila Universitas sekarang hanya menghasilkan kelompok militan muda yang suka berperang antar fakultas, suka mabuk-mabukan, suka memalsukan tanda tangan, Inilah GENERASI YANG HILANG, inilah keterasingan. Mereka dilanda kegelisahan yang sangat dari mana, dimana dan mau kemana mereka kelak, Kemanusiaan mereka telah mati sebab mereka hanya melihat kemiskinan di bawahnya dan melihat Korupsi dan kemunafikan di atasnya, mereka memilih untuk mencipta dunia maya mereka sendiri dan pada akhirnya menyerah dan ikut menjadi penindas baru.
Maka sangat tidak mengherankan jika upaya pembaharuan sistem di Indonesia juga terus berputar-putar pada masalah yang itu-itu juga. Yang terjadi bukanlah Inovasi melainkan Involusi dan tambal sulam. Sehingga yang ada sekarang bukan lagi sistem Pendidikan Nasional melainkan Sistem Penjinakan Nasional, diamana kaum muda di ajar untuk tidak menggunakan suaranya terlalu tinggi, untuk tidak berjalan terlalu cepat dan tidak menggunakan tubuhnya untuk kepentingan sendiri.
Seharusnya ke depan kita harus melakukan penerobosan-penerobosan terhadap batas sistem yang telah mapan dan baku, jika perlu menggantinya dengan yang baru sama sekali bila memang ternyata sistem lama yang sudah mapan tersebut hanyalah mengulang-ulang yang telah ada dalam cara yang nampaknya saja lebih baru dan lebih canggih, padahal tidak memberikan perubahan yang berarti.
Menembus kemacetan sistem seperti itu memang membutuh suatu evolusi jika perlu revolusi sikap dan pemikiran.
Anakmu bukanlah anakmu
Dia adalah anak kehidupan
Kau hanyalah busur yang melahirkan mereka
Dan mereka adalah anak panah
Yang akan melesat menuju arahnya sendiri.
(Kahlil Gibran)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar