Ditulis Oleh:
Saiful Haq
Dosen Universitas Paramadina
Judul di atas di ambil dari artikel
Sindhunata di majalah Basis edisi Juli-Agustus 2000. Judul ini sangat
menarik perhatian kita. Banyak hal yang diwakili oleh air mata kita.
Terkadang air mata menetes karena rasa bahagia yang yang tak terkatakan.
Sayangnya saat ini bukan air mata seperti yang jatuh saat ini di pipi
kita beberapa tahun terakhir ini, yang ada selama ini adalah jenis air
mata yang mengucur deras karena penderitaan yang sulit diungkapkan
dengan kata-kata. Air mata yang jatuh karena kebanyakan warga negara
telah mengorbankan segala sesuatu untuk menyekolahkan anak-anak mereka,
dengan harapan akan dapat meningkatkan harkat dan martabat hidup mereka
sebagai anak manusia, namun akhirnya justru menyaksikan anak-anak itu
menjadi Malin Kundang baru di abad ini. Dan anak-anak itu adalah produk
dunia persekolahan kita.
Air mata itu mewakili kesesakan jiwa
yang penat menatap arah reformasi yang masih sangat kurang menyentuh
bidang hukum dan pendidikan, air mata itu juga mewakili keprihatinan
mendalam melihat perilaku elite politik yang kekanak-kanakan dan tidak
mencerminkan ada hasil dari proses pendidikan yang mereka nikmati di
masa sebelumnya. Bukankah elite politik dewasa ini secara tidak langsung
adalah produk dari sistem pendidikan kita yang kita sunat begitu saja
menjadi sistem persekolahan selama beberapa dekade terakhir (1959-1998).
Untuk menghibur dan menguatkan hati,
baiknya kita berusaha mengingat kata-kata Aristoteles bahwa, “Akar-akar
pendidikan itu pahit, tetapi buahnya manis”. Dengan demikian kita
diantar untuk menerima kenyataan bahwa kepahitan yang sekarang adalah
merupakan suatu keharusan dalam arti tak terhindarkan. Kepahitan yang
ada sekarang adalah buah dari “akar-akar pendidikan palsu” yang telah
kita taburkan di masa lalu. Pendidikan palsu itu memuja segala sesuatu
yang palsu, mulai dari angka statistik palsu, laporan palsu, skripsi
palsu, senyum palsu, sistem keuangan palsu, reputasi palsu, perusahaan
dan industri palsu, dan sekaligus melibatkan guru-guru palsu, gelar
palsu, mata kuliah dan kurikulum palsu, orang tua palsu dan sebagainya.
(Sumber: Andreas Harefa, "Menjadi Manusia Pembelajar")
Hasil dari pendidikan palsu tersebut
tidak lain adalah manusia-manusia munafik yang kata dan perbuatannya
saling berbantahan dengan sendirinya. Terlalu naif melemparkan semua
tanggungjawab ke pundak politik elite orde baru, dan sangatlah konyol
mengharapkan manusia-manusia orde baru akan dapat bersungguh-sungguh di
era pasca orde baru ini. Lebih baik kita mengakui bahwa kita semua
bersalah dalam memilih pohon dan pupuk di masa lalu. Setidaknya kita
sangat kurang belajar dari sejarah bangsa kita sendiri.
Jika Pendidikan Mengasingkan Kemanusiaan
Pendidikan kita telah lama mengasingkan
generasi muda kita dari lingkungan sosialnya, dari hasil quesioner yang
disebarkan di Makassar terlihat bahwa 85 % pelajar SMU tidak mengetahui
lagi keadaan sosial dimana mereka berdomisili, bahkan
pertanyaan-pertanyaan yang paling mudahpun sulit mereka jawab, misalnya
nama-nama tetangga mereka, jumlah angka dari tetangga mereka. Suatu
keadaan yang jelas sangat memasung nilai-nilai gotong royong warisan
nenek moyang kita. Pelajar dan mahasiswa kita hanya disibukkan dengan
jadwal kuliah yang padat, serta pekerjaan rumah yang padat pula, setelah
lulus usia mereka sudah terlambat untuk memulai bagaimana hidup dengan
berkarya dari hasil pemikiran dan keringat sendiri, satu-satunya jalan
adalah segera mencari pekerjaan dengan upah berapapun dan dimanapun.
Sungguh menyedihkan memang, mereka harus menjadi pelayan-pelayan Industri dimana konstribusi sosial sangat tidak diperhitungkan.
PENGASINGAN (estrangement/alienasi)
bukan hanya berarti bahwa manusia tidak mengalami dirinya sebagai pelaku
ketika sedang bekerja, tetapi juga berarti bahwa dunia (alam, benda dan
manusia sendiri) tetap asing bagi manusia. Kematian dan kekosongan
diungkapkan dalam Kitab Perjanjian Lama “Mata mereka tidak melihat,
telinga yang mereka miliki tidak mendengar”. Semakin manusia memindahkan
dirinya dan mengabdi pada Sistem Pendidikan yang ada sekarang, semakin
dia tidak bisa menjadi dirinya, dan semakin sedikit bagian dari dirinya
yang asli dapat diperolehnya.
Demikianlah Pendidikan Nasional kita
tidak lagi mampu mencetak kader-kader bangsa sehebat Soekarno, Hatta,
Syahrir dll., belum apa-apa mereka telah dijerat dengan berbagai
embel-embel negatif, Makar, Komunis, Anarkis dsb. Jangan heran bila
Universitas sekarang hanya menghasilkan kelompok militan muda yang suka
berperang antar fakultas, suka mabuk-mabukan, suka memalsukan tanda
tangan, Inilah GENERASI YANG HILANG, inilah keterasingan. Mereka dilanda
kegelisahan yang sangat dari mana, dimana dan mau kemana mereka kelak,
Kemanusiaan mereka telah mati sebab mereka hanya melihat kemiskinan di
bawahnya dan melihat Korupsi dan kemunafikan di atasnya, mereka memilih
untuk mencipta dunia maya mereka sendiri dan pada akhirnya menyerah dan
ikut menjadi penindas baru.
Maka sangat tidak mengherankan jika
upaya pembaharuan sistem di Indonesia juga terus berputar-putar pada
masalah yang itu-itu juga. Yang terjadi bukanlah Inovasi melainkan
Involusi dan tambal sulam. Sehingga yang ada sekarang bukan lagi sistem
Pendidikan Nasional melainkan Sistem Penjinakan Nasional, diamana kaum
muda di ajar untuk tidak menggunakan suaranya terlalu tinggi, untuk
tidak berjalan terlalu cepat dan tidak menggunakan tubuhnya untuk
kepentingan sendiri.
Seharusnya ke depan kita harus melakukan
penerobosan-penerobosan terhadap batas sistem yang telah mapan dan
baku, jika perlu menggantinya dengan yang baru sama sekali bila memang
ternyata sistem lama yang sudah mapan tersebut hanyalah mengulang-ulang
yang telah ada dalam cara yang nampaknya saja lebih baru dan lebih
canggih, padahal tidak memberikan perubahan yang berarti.
Menembus kemacetan sistem seperti itu memang membutuh suatu evolusi jika perlu revolusi sikap dan pemikiran.
Anakmu bukanlah anakmu
Dia adalah anak kehidupan
Kau hanyalah busur yang melahirkan mereka
Dan mereka adalah anak panah
Yang akan melesat menuju arahnya sendiri.
(Kahlil Gibran)
Dia adalah anak kehidupan
Kau hanyalah busur yang melahirkan mereka
Dan mereka adalah anak panah
Yang akan melesat menuju arahnya sendiri.
(Kahlil Gibran)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar