Selasa, 28 Mei 2013

Momentum Sayap-sayap Muenchen

thumbnailBayern Muenchen belajar sangat banyak dari kekalahan menyakitkan di final Liga Champions musim lalu. Kemenangan ternyata tak bisa dicapai hanya dengan penguasaan bola. Gol tak bisa dijamin akan datang hanya dari tembakan ke gawang lawan yang lebih banyak atau superioritas tendangan penjuru.

Begitulah faktanya. Dalam laga di Allianz Arena pada 19 Mei 2012 itu, Muenchen memaksa Chelsea lebih banyak bertahan dengan 55 persen penguasaan bola. Mereka juga terus membombardir gawang Chelsea dengan total 24 tembakan berbanding enam saja. Bahkan pertandingan seperti "berat sebelah" dengan dominasi perbandingan sepak pojok 20 lawan 1 saja.

Begitulah fakta yang disaksikan 62 ribuan pasang mata di Allianz Arena waktu itu. Tapi, di pengujung laga, Franck Ribery dan rekan-rekannya hanya bisa tertegun menyaksikan Frank Lampard dan kawan-kawan yang mengangkat tinggi-tinggi trofi Liga Champions.

Tentu, banyak faktor yang bisa disebut sebagai penyebab kegagalan Muenchen saat itu. Anda bisa menyebut ketidaksiapan menghadapi adu penalti sebagai biang kegagalan tim asuhan Jupp Heynckes. Tak salah juga menganggap absennya faktor keberuntungan sebagai penyebabnya, karena Muenchen mestinya menang lewat babak perpanjangan jika eksekusi penalti Arjen Robben tak terlalu lemah.

Ya, cukup banyak faktor yang bisa disebut. Tapi, secara khusus, saya ingin menyebut kegagalan tersebut karena kurang optimalnya kontribusi dua pemain sayap andalan Muenchen: Robben di kanan dan Ribery di kiri. Padahal, dua pemain inilah kunci kekuatan permainan Muenchen sepanjang musim hingga mengantarkan mereka ke final.

Dua pemain sayap ini memang unik dan memiliki karakter berbeda. Robben sangat gemar mengolah bola dan tak mau melepas bola dari kakinya kecuali benar-benar kesulitan melewati lawan. Jika ruangnya terbuka, Robben hampir selalu memilih cara menusuk dan mengeksekusi sendiri peluang yang didapatnya.

Beda dengan Ribery. Ia juga suka berlama-lama dengan bola di sepanjang sisi kiri lapangan. Tapi Ribery lebih mau berbagi umpan bagi rekannya yang lain. Kadang-kadang ia juga menusuk ke kotak penalti dan membenamkan bola ke jala lawan. Tapi persentase assist dan umpan silangnya lebih tinggi ketimbang Robben.

Sayangnya, dua kombinasi unik dan mematikan itu tak mampu mereka suguhkan secara optimal di final tahun lalu. Bek-bek Chelsea sukses membuat mereka hanya menari-nari tanpa sempat melepas pukulan mematikan.

Alhasil, Muenchen hanya dominan dalam produksi sepak pojok dan ancaman ke gawang lawan. Robben bahkan gagal mengeksekusi penalti pada perpanjangan waktu. Adapun Ribery harus ditarik keluar lapangan pada menit ke-97 karena cedera setelah dilanggar Didier Drogba. Dan sejak itu pula tusukan-tusukan Muenchen dari sisi kiri praktis hilang.



Kegagalan di final tersebut "membangunkan" Muenchen. Secara tak sadar, mereka terlalu terlena menikmati kontribusi dua pemain sayap hebat tersebut. Tusukan-tusukan maut mereka terlalu memanjakan striker Mario Gomez, Thomas Mueller, dan Ivica Olic dengan umpan-umpan matang.

Persoalan muncul ketika lawan bisa menemukan cara untuk menumpulkan tusukan-tusukan dua sayap Muenchen tersebut. Serangan-serangan Muenchen memang tetap bergelombang namun tak cukup untuk melukai. Hanya berbuah peluang demi peluang yang tak cukup untuk menjadi gol. Seperti terjadi pada malam kelabu di kandang sendiri, semusim lalu. Saat Ribery dan Robben "tenggelam", para striker Muenchen seperti linglung. Hanya berlari ke sana-ke mari di area pertahanan lawan.

Musim ini, Heynckes mencoba memperbaiki hal tersebut. Ia tetap mempercayai Robben dan Ribery sebagai tumpuan gempuran pasukannya. Pakem permainan FC Hollywood juga tak bergeser dari skema 4-3-3 yang acapkali dimodifikasi jadi 4-2-3-1.

Seiring menguatnya kerisauan akan rapuhnya kondisi fisik Ribery dan terutama Robben, Heynckes juga menyiapkan sayap-sayap pelapis yang bisa diandalkan. Ia pun bereksperimen dengan banyak memainkan Mueller di sektor kanan manakala Robben tak bisa main. Adapun sebagai pelapis Ribery disiapkan Xherdan Shaqiri dan David Alaba. Shaqiri kebetulan bisa main sama bagusnya di sayap kiri maupun kanan –bahkan sebagai penyerang lubang -- sehingga jadi pelapis yang sangat berguna.

Begitulah Muenchen menyiasati problematika sayap mereka musim ini. Heynckes kini sangat berhati-hati dan hemat memainkan Ribery-Robben secara bersamaan. Kombinasi Robben-Mueller diturunkan bergantian dengan Mueller-Shaqiri atau Shaqiri-Ribery atau Mueller-Alaba. Tak sekadar untuk mengurangi risiko cedera, ia juga tak ingin timnya terlalu bergantung kepada Ribery dan Robben.

Kombinasi Ribery-Robben hanya sesekali diturunkan pada laga-laga krusial. Dan, setiap kali mendapat kesempatan, mereka membalasnya dengan performa yang mengesankan. Lihat saja buktinya saat Muenchen menang 4-3 atas Borussia Moenchengladbach dalam duel dramatis di ujung musim Bundesliga, 18 Mei lalu.

Pasangan sayap Ribery-Robben juga tampil memukau saat menggilas Barcelona 4-0 di pertemuan pertama semifinal Liga Champions, 24 April lalu. Sebelumnya, mereka juga yang jadi aktor-aktor utama kemenangan mengesankan 2-0 atas Juventus dan saat membantai Werder Bremen 6-1 di ajang Bundesliga.

Laga puncak di Stadion Wembley, dinihari nanti, akan sangat penting bagi Muenchen dan Heynckes sendiri. Akan sangat mengherankan jika ia tak mempercayai Ribery-Robben bermain sejak menit pertama dan memimpin jalur serangan raksasa Jerman tersebut.

Bagi Ribery dan Robben sendiri, ini akan jadi kesempatan emas untuk melunasi utang atas kegagalan pada musim lalu. Semua mengakui kehebatan dan kontribusi besar mereka atas keperkasaan Muenchen dalam empat musim terakhir ini. Namun, tanpa meraih trofi Liga Champions, peran besar Ribey-Robben seperti tanpa mahkota dan akan mudah dilupakan sejarah.

Namun itu bukan perkara mudah. Seperti diuraikan dalam tulisan saya terdahulu [baca di sini], Borussia Dortmund yang akan jadi lawan Muenchen adalah tim dengan etos kerja keras dan mentalitas bertanding yang luar biasa. Mereka tak pernah takut menghadapi siapapun. Apalagi Muenchen yang setiap tahun berkali-kali mereka hadapi.

Ini yang menarik. Dua bek Dortmund, Lukasz Piszczek di kanan dan Marcel Schmerzel di kiri adalah pemain-pemain yang terbiasa bekerja paling keras dan berlari paling jauh sepanjang pertandingan. Mobilitas mereka yang luar biasa itu akan menjadi tembok penghalang yang menyulitkan bagi Robben dan Ribery. Apalagi Piszczek dan Schmerzel juga sudah sangat kenal gaya main calon lawannya.

Menarik untuk ditunggu bagaimana dua pemain sayap jenius itu bakal memainkan perannya dalam laga final kali ini. Bekal kualitas individu mereka yang di atas rata-rata dan pengalaman panjang bermain di berbagai laga penting semestinya cukup menjadi modal untuk melewati ujian penting ini.

Inilah saatnya bagi Robben dan Ribery untuk mengisi satu lembaran penting dalam sejarah Muenchen. Dan jika kembali gagal, kesempatan lain mungkin tak akan pernah datang untuk mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar