Rabu, 03 April 2013

Hukuman Mati Pelaku Kekerasan Seksual Tak Mendidik

Ilustrasi (Foto: Dok Okezone)

Hukuman Mati Pelaku Kekerasan Seksual Tak Mendidik

K. Yudha Wirakusuma - Okezone
Selasa, 15 Januari 2013 19:56 wib
Browser anda tidak mendukung iFrame
Ilustrasi (Foto: Dok Okezone)
JAKARTA - Kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan kerap terjadi di Tanah Air. Sehubungan dengan hal itu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengusulkan pemberian hukuman seumur hidup sampai hukuman mati terhadap pelaku kejahatan seksual anak dan perempuan.

Bak gayung bersambut, usulan ini disetujui oleh Komisi Hukum DPR dan akan ditindaklanjuti dalam revisi UU KUHP. Tak ayal, gagasan ini memicu pro kontra.

KontraS misalnya, mereka beranggapan bahwa hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan, adalah hal yang berlebihan. Berikut petikan wawancara Okezone dengan peneliti KontraS Puri Kencana Putri.


Apakah pantas pelaku kejahatan seksual anak dan perempuan diberikan hukuman mati?

Ukurannya bukan pantas atau tidak pantas, seharusnya pemerintah dapat mengelola masyarakat tanpa perbedaan gender, dan hak-hak dasar manusia dalam keadaan apapun, dapat dipenuhi oleh negara.


Lantas apa komentar Anda soal usulan KPAI?

Seharusnya KPAI bisa memberikan solusi, bukan malah menimbulkan permasalahan baru. Saat ini saya menilai bahwa tren di Indonesia, semua permasalahan dijawab dengan hukuman mati. Menurut saya solusinya mungkin diberikan hukuman yang cukup serius, maksimal seumur hidup, atau dihukum dengan kerja sosial. Konteks hukuman  rehabilitasi. Jadi hukuman yang bersifat mendidik.


Apakah dengan diterapkannya hukuman penjara atau hal lain yang bersifat edukasi mampu memunculkan efek jera?

Polisi harus transparan, kita selama ini enggak tahu berapa banyak kasus kejahatan seksual. Kemudian di mana kerap terjadi kejahatan tersebut, apa kelas menengah bawah atau atas. Saya rasa, polisi sudah memiliki desk khusus anak perempuan. Desk tersebut, diisi polisi wanita, itu lebih diaktifkan dan lain sebagainya.


Jika memang hukuman penjara cukup, lantas bagaimana untuk mencegah terjadinya kekerasan seks yang semakin marak?

Menurut saya kita jangan malu-malu kucing untuk menerapkan pendidikan seks. Memberikan edukasi pendidikan seks. Tak ada salahnya jika dibangun pendidikan seks sehat, guna mengetahui apa risikonya, kemudian apa risiko seks serampangan. Sistem perlinduangan anak dan perempuan secara online juga harus dibangun, bangun sistem sosial yang peka, hal tersebut bisa mendorong pencegahan. Intinya, ruang-ruang yang ada dimaksimalkan.


Bagaimana pendapat Anda soal calon hakim agung yang menjadikan kasus pemerkosaan sebagai bahan bercanda saat fit and proper test di Komisi III DPR?

KontraS menilai hal tersebut tidak pantas dilakukan oleh orang yang berpendidikan, seharusnya dapat melindungi korban, bukan mengatakan bahwa korban dan pelaku sama-sama menikmati. Walaupun belakangan dia menganulir hal tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar