Senin, 11 Februari 2013

Kemerdekaan: Sebuah Obituari

07 September 2011

Oleh: Saiful Haq

Tentu tidak lazim ditengah kegembiraan memperingati kemerdekaan suatu bangsa, seseorang lalu menuliskan sebuah obituari, sebuah kata yang harusnya diperuntukkan untuk memperingati kematian. Saya juga tidak sedang berusaha mengatakan bahwa kemerdekaan sudah mati, lalu kita semua wajib berduka atas kematian itu. Lalu mengapa obituari?
Ketika Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bersidang tanggal 15 Juli 1945, perdebatan sengit terjadi antara Soekarno yang didukung Supomo, dengan kubu Hatta yang didukung Muhammad Yamin. Topik perdebatannya tentang perlu tidaknya klausul mengenai hak menyatakan pikiran dan pendapat, hak berkumpul dan hak berserikat dimasukkan ke dalam Undang-undang Dasar. Soekarno menolak dengan argumen “kita rancangkan UUD dengan kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan individu.” Soekarno berpendirian, bahwa kebebasan-kebebasan itu tidak dapat mengisi perut orang yang lapar, yang dibutuhkan adalah keadilan sosial. Meski Hatta menolak liberalisme, namun Hatta juga menolak kekuasaan absolut negara pada saat yang sama. Hatta berpendirian “Janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara.” Ujung perdebatan itu dimenangkan Hatta, klausul tersebut masuk ke dalam UUD 1945, bahkan sebelum Piagam Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB diluncurkan. Jaminan atas hak asasi inilah yang memberi ruh pada proklamasi 17 Agustus 1945, merdeka sebagai bangsa-merdeka sebagai rakyat. Kemerdekaan Indonesia adalah sebuah kelahiran, bukan kematian. Namun, jiwa merdeka yang merupakan cita rasa keadilan, tempat persemayaman cinta dan pijak pancang pondasi harga diri, itulah yang hampir mati. Untuk itu obituari ini saya tulis.

Kemerdekaan hari ini

Awal Agustus 2011, kota Jayapura dan Manokwari dibanjiri ribuan rakyat, mereka menuntut referendum. Tidak tanggung-tanggung, opsinya meminta merdeka, lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Pada minggu yang sama dua gereja dibakar di Riau, rumah ibadah menjadi pelampiasan amarah sosial. Pada minggu yang sama, warga Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, mengancam akan mengibarkan bendera Malaysia, karena perhatian yang minim dari pemerintah. Pada bulan yang sama, kita harus bergembira, karena Republik memasuki usia ke-66 tahun.
Kejadian ini seakan merupakan kado kesedihan, lebih menyerupai karangan bunga duka ketimbang menjadi kalo ulang tahun yang menggembirakan. Kita terlalu sering berkoar-koar tentang kemerdekaan, seakan kemerdekaan adalah sebuah perhelatan kemenangan tiada akhir, seakan kejayaan suatu bangsa ditentukan oleh gegap gempitanya sebuah seremoni kemerdekaan. Kita seakan lupa, bahwa proyek kebangsaan belum berakhir, revolusi belum selesai kata Soekarno. Indonesia sebagai sebuah state sudah selesai, namun sebagai sebuah nation, kita masih banyak pekerjaan rumah. Kejadian di Papua, Riau dan Kalimantan Barat adalah sebuah ujian sejarah, kita tidak boleh menjadi bangsa yang bebal, Negara tidak bisa menjadi absolut dan anti kritik, negara harus bisa menerima koreksi bahkan melakukan koreksi atas dirinya. Karena sesungguhnya, meminjam Horkheimer, negara yang kehilangan kritik terhadap dirinya bakal membunuh dirinya sendiri.

Sebuah Ziarah Nasionalisme

Diawal tulisan, saya menghadirkan suasana sidang BPUPKI, perdebatan antara Soekarno dengan Hatta tentang kebebasan dan hak asasi manusia. Tampaknya hari ini, perdebatan itu seolah menjadi piagam tanpa wujud, termaktub dalam konstutisi namun miskin implementasi. Rombongan ibu-ibu setiap Kamis, berbaris tertib di depan Istana Merdeka, tanpa lelah mempertanyakan nasib anak, suami dan keluarga mereka. Kaum muda Papua marah, karena tanah mereka dijarah, sementara mereka hidup terbelakang. Otonomi khusus hanya membagikan sebagian hasil kekayaan itu ke elit lokal, tanpa berujung pada kesejahteraan yang merata. Rakyat di perbatasan Kalimantan Barat marah, karena mereka melihat kemegahan di negeri sebelah, sementara mereka berkubang lumpur di negeri sendiri. Namun suara-suara itu seakan menabrak tembok tebal birokrasi. Para pengayom negeri seakan tidak peka dengan masalah ini, seakan semua bisa diselesaikan diujung bedil.
Zaman telah berubah, nasionalisme menjadi mantra yang mengandung dilema, terutama untuk Negara sebesar Indonesia. Meminjam Tom Nairn, nasionalisme bisa menjelma menjadi sebuah neurosis atau penyakit sejarah modern yang tak terobati, jika tidak dirawat dengan baik. Indonesia adalah negara yang terdiri dari sub-sub nasionalisme, yang setiap saat bisa membuncah tak terbendung. Maka dari itu, para pendiri bangsa perlu merepotkan diri, mempertegas prinsip Bhineka Tunggal Ika untuk membangun sebuah karakter kebangsaan yang utuh. Seharusnya para elit negeri berbesar hati untuk menyingkirkan segala kepentingan individu dan golongan, demi kepentingan bangsa dan negara. Jika tidak, maka tulisan ini, benar-benar akan menjadi obituari untuk Hari Kemerdekaan RI yang ke -66.
Saya tidak sedang mengatakan bahwa kemerdekaan telah mati, obituari ini adalah sebuah ziarah, mengenang cita-cita republik Indonesia. Menziarahi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan menziarahi para pendiri bangsa. Mungkin benar kata Tan Malaka "Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi." Kini suara itu semakin kuat, mengajak kita kembali, melakukan restorasi Indonesia. Atau, tahun ini, 17 Agustus 2011, kita hanya duduk bersantai, berziarah ke masa depan kita yang temaram dan berantakan, dimana kemerdekaan kita makamkan dengan khidmat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar