07 September 2011
Oleh: Saiful Haq
Tentu tidak lazim ditengah kegembiraan
memperingati kemerdekaan suatu bangsa, seseorang lalu menuliskan sebuah
obituari, sebuah kata yang harusnya diperuntukkan untuk memperingati kematian.
Saya juga tidak sedang berusaha mengatakan bahwa kemerdekaan sudah mati, lalu
kita semua wajib berduka atas kematian itu. Lalu mengapa obituari?
Ketika Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bersidang tanggal 15 Juli 1945,
perdebatan sengit terjadi antara Soekarno yang didukung Supomo, dengan kubu
Hatta yang didukung Muhammad Yamin. Topik perdebatannya tentang perlu tidaknya
klausul mengenai hak menyatakan pikiran dan pendapat, hak berkumpul dan hak
berserikat dimasukkan ke dalam Undang-undang Dasar. Soekarno menolak dengan
argumen “kita rancangkan UUD dengan kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan
individu.” Soekarno berpendirian, bahwa kebebasan-kebebasan itu tidak dapat
mengisi perut orang yang lapar, yang dibutuhkan adalah keadilan sosial. Meski
Hatta menolak liberalisme, namun Hatta juga menolak kekuasaan absolut negara
pada saat yang sama. Hatta berpendirian “Janganlah kita memberikan kekuasaan
yang tidak terbatas kepada negara.” Ujung perdebatan itu dimenangkan Hatta,
klausul tersebut masuk ke dalam UUD 1945, bahkan sebelum Piagam Deklarasi Hak
Asasi Manusia PBB diluncurkan. Jaminan atas hak asasi inilah yang memberi ruh
pada proklamasi 17 Agustus 1945, merdeka sebagai bangsa-merdeka sebagai rakyat.
Kemerdekaan Indonesia adalah sebuah kelahiran, bukan kematian. Namun, jiwa
merdeka yang merupakan cita rasa keadilan, tempat persemayaman cinta dan pijak
pancang pondasi harga diri, itulah yang hampir mati. Untuk itu obituari ini
saya tulis.
Kemerdekaan hari ini
Awal Agustus 2011, kota Jayapura dan
Manokwari dibanjiri ribuan rakyat, mereka menuntut referendum. Tidak
tanggung-tanggung, opsinya meminta merdeka, lepas dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pada minggu yang sama dua gereja dibakar di Riau, rumah ibadah
menjadi pelampiasan amarah sosial. Pada minggu yang sama, warga Kabupaten Sintang,
Kalimantan Barat, mengancam akan mengibarkan bendera Malaysia, karena perhatian
yang minim dari pemerintah. Pada bulan yang sama, kita harus bergembira, karena
Republik memasuki usia ke-66 tahun.
Kejadian ini seakan merupakan kado
kesedihan, lebih menyerupai karangan bunga duka ketimbang menjadi kalo ulang
tahun yang menggembirakan. Kita terlalu sering berkoar-koar tentang
kemerdekaan, seakan kemerdekaan adalah sebuah perhelatan kemenangan tiada
akhir, seakan kejayaan suatu bangsa ditentukan oleh gegap gempitanya sebuah
seremoni kemerdekaan. Kita seakan lupa, bahwa proyek kebangsaan belum berakhir,
revolusi belum selesai kata Soekarno. Indonesia sebagai sebuah state
sudah selesai, namun sebagai sebuah nation, kita masih banyak pekerjaan
rumah. Kejadian di Papua, Riau dan Kalimantan Barat adalah sebuah ujian
sejarah, kita tidak boleh menjadi bangsa yang bebal, Negara tidak bisa menjadi
absolut dan anti kritik, negara harus bisa menerima koreksi bahkan melakukan
koreksi atas dirinya. Karena sesungguhnya, meminjam Horkheimer, negara yang
kehilangan kritik terhadap dirinya bakal membunuh dirinya sendiri.
Sebuah Ziarah
Nasionalisme
Diawal tulisan, saya menghadirkan
suasana sidang BPUPKI, perdebatan antara Soekarno dengan Hatta tentang
kebebasan dan hak asasi manusia. Tampaknya hari ini, perdebatan itu seolah
menjadi piagam tanpa wujud, termaktub dalam konstutisi namun miskin
implementasi. Rombongan ibu-ibu setiap Kamis, berbaris tertib di depan Istana
Merdeka, tanpa lelah mempertanyakan nasib anak, suami dan keluarga mereka. Kaum
muda Papua marah, karena tanah mereka dijarah, sementara mereka hidup
terbelakang. Otonomi khusus hanya membagikan sebagian hasil kekayaan itu ke
elit lokal, tanpa berujung pada kesejahteraan yang merata. Rakyat di perbatasan
Kalimantan Barat marah, karena mereka melihat kemegahan di negeri sebelah,
sementara mereka berkubang lumpur di negeri sendiri. Namun suara-suara itu
seakan menabrak tembok tebal birokrasi. Para pengayom negeri seakan tidak peka
dengan masalah ini, seakan semua bisa diselesaikan diujung bedil.
Zaman telah berubah, nasionalisme
menjadi mantra yang mengandung dilema, terutama untuk Negara sebesar Indonesia.
Meminjam Tom Nairn, nasionalisme bisa menjelma menjadi sebuah neurosis
atau penyakit sejarah modern yang tak terobati, jika tidak dirawat dengan baik.
Indonesia adalah negara yang terdiri dari sub-sub nasionalisme, yang setiap
saat bisa membuncah tak terbendung. Maka dari itu, para pendiri bangsa perlu
merepotkan diri, mempertegas prinsip Bhineka Tunggal Ika untuk membangun sebuah
karakter kebangsaan yang utuh. Seharusnya para elit negeri berbesar hati untuk
menyingkirkan segala kepentingan individu dan golongan, demi kepentingan bangsa
dan negara. Jika tidak, maka tulisan ini, benar-benar akan menjadi obituari
untuk Hari Kemerdekaan RI yang ke -66.
Saya tidak sedang mengatakan bahwa
kemerdekaan telah mati, obituari ini adalah sebuah ziarah, mengenang cita-cita
republik Indonesia. Menziarahi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan menziarahi para
pendiri bangsa. Mungkin benar kata Tan Malaka "Ingatlah! Bahwa dari dalam
kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi." Kini suara
itu semakin kuat, mengajak kita kembali, melakukan restorasi Indonesia. Atau,
tahun ini, 17 Agustus 2011, kita hanya duduk bersantai, berziarah ke masa depan
kita yang temaram dan berantakan, dimana kemerdekaan kita makamkan dengan
khidmat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar