Rabu, 20 Februari 2013

Masalah genting pertelevisian


SBY mengeluh, betapa dirinya sering dizalimi media, baik sebagai presiden maupun sebagai pemilik Partai Demokrat. Di mata SBY, media tidak fair dalam menilai kinerja pemerintahan yang dipimpinnya; demikian juga dalam menilai penampilan partai yang dikomandoinya. SBY merasa tidak beruntung karena tidak punya media.
Pada kesempatan lain, Wiranto tampak sumringah menyambut kedatangan Hary Tanoesoedibjo. Bergabungnya Hary Tanoe ke Partai Hanura membuat Wiranto dkk bangkit kepercayaan dirinya menghadapi Pemilu 2014. Padahal sebelumnya, mereka sudah ketir-ketir atas prediksi beberapa lembaga survei: Hanura akan jadi korban pertama ambang batas 3,5% bersama PKB.
Bukan massa atau jaringan organisasi jebolan Nasdem yang membuat Wiranto dkk bergembira; juga bukan uang yang dibawa Hary Tanoe. Tetapi komitmen melakukan serangan udara untuk meningkatkan kemampuan Hanura dalam meraih suara. Yang dimaksud serangan udara tidak lain adalah pemanfaatan media yang dimiliki Hary Tanoe untuk mengampanyekan Wiranto dan Hanura.
Inilah kontras yang terjadi pada waktu hampir bersamaan. Dua pensiunan jenderal, dua pimpinan partai politik, dalam dua situasi yang berbeda: SBY merasa telah dirugikan oleh media, Wiranto merasa akan diuntungkan oleh media; SBY menyesal tidak memiliki media, Wiranto dapat berkah tiba-tiba "memiliki" media.
Soal media ini, sebetulnya SBY tidak pernah berterus terang. Sesungguhnya yang dia keluhkan bukanlah media secara umum, melainkan televisi, tepatnya kepemilikan stasiun televisi. Sebab, kalau dia menyesal tidak memiliki media secara umum, sebenarnya tidak tepat. Dia memiliki www.presidensby.info yang terkelola baik; Partai Demokrat juga memiliki koran Jurnal Nasional yang terbit setiap hari.
Radio memang SBY tidak punya. Tetapi dari sisi pengaruh publik, yang paling disesalinya tentu saja karena tidak memiliki stasiun televisi. Ini bisa dimengerti, karena orang awam pun merasakan bahwa MetroTV dan TvOne lebih sering mengkritik dan menyerang SBY dan Partai Demokrat jika dibandingkan dengan media lain.
Awam pun paham, karena kedua televisi itu adalah milik Surya Paloh dan Aburizal Bakrie, yang tidak lain adalah lawan-lawan politik SBY. Tentu saja siaran Metro TV dan TvOne tak hanya mempromosikan Surya Paloh dan Aburizal Bakrie, tetapi juga mengampanyekan Partai Nasdem dan Partai Golkar. Inilah yang disesali SBY.
Sebentar lagi penyesalan SBY bisa bertambah dalam, setelah Wiranto dan Hanura menjadi digdaya melalui serangan udara yang dilancarkan Hary Tanoe. Ya, karena mereka akan memanfaatkan MNC Grup milik Hary Tanoe untuk berkampanye. Kekuatannya bisa dahsyat karena MNC Grup memiliki lebih banyak stasiun televisi: RCTI, Global TV, MNC TV, dan Indovision network.
Tetapi, jangan dulu terbawa kegalauan SBY. Jangan-jangan dia lebay saja: minta dikasihani karena telah dan akan dizalimi para pemilik televisi. Sebab, kalau kita lacak ke belakang, SBY sesungguhnya juga leluasa memanfaatkan televisi untuk berkampanye. Dia memang tidak memiliki sendiri stasiun televisi, tetapi pengaruhnya cukup membuat pemilik Trnas TV dan Trans7 untuk menyiarkan apapun yang dikehendakinya.
Nah, jika siaran televisi sudah dikapling-kapling seperti itu, lalu apa artinya frekuensi milik negara, apa makna frekuensi digunakan untuk kepentingan publik. Tidak cukuplah kalau hanya menyalahkan pemilik televisi, jika para pembuat dan pelaksana kebijakan diam saja, pura-pura tidak tahu ada masalah besar dalam dunia pertelevisian kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar